Posted On May 19, 2025

Perkembangan Media Sosial: Penyalahgunaan oleh Oknum Pemerintah dan Dampaknya bagi Masyarakat Luas

Werner 0 comments
Perkembangan Sosial Media Era Modern >> Uncategorized >> Perkembangan Media Sosial: Penyalahgunaan oleh Oknum Pemerintah dan Dampaknya bagi Masyarakat Luas
Perkembangan Media Sosial: Penyalahgunaan oleh Oknum Pemerintah dan Dampaknya bagi Masyarakat Luas

bonnievillebc.com, 19 MEI 2025

Penulis: Riyan Wicaksono

Editor: Muhammad Kadafi

Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

Media sosial telah merevolusi cara masyarakat berkomunikasi, berbagi informasi, dan berpartisipasi dalam wacana publik. Dari hanya 129 juta pengguna aktif di Indonesia pada 2015, jumlah pengguna media sosial global mencapai lebih dari 4,9 miliar pada 2025, dengan platform seperti Facebook, Instagram, Twitter/X, TikTok, dan WeChat mendominasi (Statista, 2025). Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga menjadi alat yang disalahgunakan oleh oknum pemerintah di berbagai negara untuk memanipulasi opini publik, menyebarkan propaganda, atau menekan kebebasan berekspresi (Freedom House, 2024). Artikel ini mengulas perkembangan media sosial, kasus penyalahgunaan oleh oknum pemerintah di negara tertentu, dampaknya bagi masyarakat luas, serta upaya mitigasi, berdasarkan sumber terpercaya hingga Mei 2025.

Perkembangan Media Sosial: Dari Alat Komunikasi ke Instrumen Kekuasaan

1. Evolusi Media Sosial

  • Awal Mula: Media sosial dimulai dengan platform seperti GeoCities (1995) dan Blogger (1999), diikuti jejaring sosial seperti Friendster (2002), MySpace (2003), dan Facebook (2004) (web:8). Pada 2025, platform seperti TikTok dan Instagram mendominasi dengan konten visual, sementara Twitter/X tetap relevan untuk wacana politik (The Conversation, 2024).
  • Aksesibilitas: Kemajuan teknologi mobile dan internet memungkinkan akses media sosial kapan saja, dengan 3,5 jam rata-rata penggunaan harian di Indonesia (web:21). Lebih dari 60% populasi global kini terhubung (Statista, 2025).
  • Fitur dan Algoritma: Algoritma berbasis AI mempersonalisasi konten, meningkatkan keterlibatan, tetapi juga mempermudah penyebaran disinformasi (web:6). Fitur seperti iklan bertarget dan bot memperkuat pengaruh platform (Freedom House, 2024).

2. Peran Positif Media Sosial

  • Komunikasi dan Partisipasi: Media sosial memfasilitasi interaksi lintas batas, memperluas akses informasi, dan mendorong gerakan sosial seperti #MeToo (web:3, web:6).
  • Pemberdayaan: Kelompok marginal, seperti minoritas dan penyandang disabilitas, dapat menyuarakan aspirasi (web:6).
  • Transparansi: Media sosial memungkinkan pengawasan publik terhadap pemerintah, meningkatkan akuntabilitas (web:6).

3. Potensi Penyalahgunaan

  • Media sosial rentan disalahgunakan karena kecepatan penyebaran informasi, anonimitas, dan kemampuan menargetkan audiens spesifik (web:4). Oknum pemerintah memanfaatkan platform untuk propaganda, manipulasi data, atau penindasan (Freedom House, 2024).
  • Contoh: Postingan X dari @FreedomHouse (2025) menyoroti bahwa 47 negara menggunakan media sosial untuk memengaruhi opini publik, sering kali melalui troll farms atau akun bot.

Kasus Penyalahgunaan Media Sosial oleh Oknum Pemerintah

Berikut adalah kasus-kasus terdokumentasi di beberapa negara, dengan fokus pada penyalahgunaan oleh oknum pemerintah:

1. Indonesia: Kasus Saracen

  • Latar Belakang: Pada 2017, kelompok Saracen, diduga didukung oknum pejabat, menyebarkan disinformasi bermotif SARA (suku, agama, ras, antargolongan) melalui media sosial untuk memecah belah masyarakat dan mendukung agenda politik tertentu (web:10; BBC News, 2017).
  • Modus Operandi:
    • Membuat dan menyebarkan berita hoaks melalui akun-akun terkoordinasi di Facebook dan Twitter.
    • Menggunakan bot untuk memperkuat narasi, seperti menjelekkan kandidat politik atau kelompok agama tertentu (web:10).
  • Dampak:
    • Memicu polarisasi sosial, terutama menjelang Pemilu 2019 (The Conversation, 2018).
    • Menurunkan kepercayaan publik terhadap informasi online (web:10).
  • Respon: Polisi membongkar sindikat Saracen, tetapi pelaku utama di balik pendanaan tidak sepenuhnya terungkap, menunjukkan lemahnya penegakan hukum (web:10).

2. Filipina: Propaganda Duterte dan Troll Farms

  • Latar Belakang: Selama kepresidenan Rodrigo Duterte (2016–2022), oknum pemerintah diduga mendanai troll farms untuk mendukung kebijakan kontroversial, seperti perang melawan narkoba (Freedom House, 2024).
  • Modus Operandi:
    • Akun-akun anonim menyebarkan narasi pro-pemerintah di Facebook, menyerang jurnalis dan aktivis (Reuters, 2021).
    • Manipulasi hashtag untuk mendominasi wacana publik (The Guardian, 2020).
  • Dampak:
    • Membungkam kritik terhadap pelanggaran HAM, dengan jurnalis menghadapi ancaman online (Amnesty International, 2024).
    • Meningkatkan ketakutan di kalangan aktivis, mengurangi kebebasan berekspresi (Freedom House, 2024).
  • Respon: Investigasi independen oleh Rappler mengungkap operasi troll, tetapi kurangnya regulasi platform menghambat tindakan lanjutan (The Conversation, 2024).

3. Myanmar: Propaganda Militer terhadap Rohingya

  • Latar Belakang: Pada 2016–2018, militer Myanmar menggunakan Facebook untuk menyebarkan kebencian terhadap etnis Rohingya, berkontribusi pada genosida (UN Human Rights Council, 2018).
  • Modus Operandi:
    • Oknum militer membuat ratusan akun palsu untuk menyebarkan hoaks, seperti menggambarkan Rohingya sebagai teroris (BBC News, 2018).
    • Memanfaatkan algoritma Facebook untuk memperluas jangkauan konten kebencian (The Guardian, 2023).
  • Dampak:
    • Memicu kekerasan massal, dengan lebih dari 700.000 Rohingya mengungsi (Amnesty International, 2024).
    • Menghancurkan kepercayaan antarkomunitas dan memperdalam konflik etnis (Freedom House, 2024).
  • Respon: Facebook menghapus akun-akun terkait pada 2018, tetapi kerusakan telah terjadi. Platform dikritik karena lambat bertindak (Reuters, 2025).

4. Tiongkok: Sensor dan Propaganda WeChat

  • Latar Belakang: Pemerintah Tiongkok menggunakan WeChat dan Weibo untuk menyebarkan propaganda resmi dan menyensor kritik (Freedom House, 2024).
  • Modus Operandi:
    • Oknum pemerintah mempekerjakan “50 Cent Army” (akun bayaran) untuk memposting narasi pro-Partai Komunis (The Guardian, 2023).
    • Sensor otomatis menghapus konten yang dianggap sensitif, seperti diskusi tentang Hong Kong atau Xinjiang (Amnesty International, 2024).
  • Dampak:
    • Membatasi kebebasan berekspresi, dengan warga takut memposting pandangan kritis (Freedom House, 2024).
    • Memperkuat narasi pemerintah, mengurangi akses ke informasi independen (Reuters, 2025).
  • Respon: Sulit dilakukan karena kontrol ketat pemerintah atas internet domestik. Aktivis menggunakan VPN untuk menghindari sensor (The Conversation, 2024).

5. India: Manipulasi Pemilu dan Kebencian Agama

  • Latar Belakang: Oknum dari partai politik tertentu diduga menggunakan WhatsApp dan Twitter untuk menyebarkan disinformasi selama pemilu 2019 dan 2024 (Reuters, 2024).
  • Modus Operandi:
    • Mengedarkan hoaks tentang kandidat oposisi dan memicu sentimen anti-Muslim (The Guardian, 2024).
    • Menggunakan grup WhatsApp terkoordinasi untuk menyebarkan propaganda (Freedom House, 2024).
  • Dampak:
    • Meningkatkan kekerasan komunal, seperti kerusuhan di Delhi (2020) (Amnesty International, 2024).
    • Mengikis kepercayaan terhadap proses demokrasi (The Conversation, 2024).
  • Respon: Pemerintah India memberlakukan aturan IT baru pada 2021, tetapi sering digunakan untuk menekan kritik, bukan mengatasi hoaks (Freedom House, 2024).

Dampak Penyalahgunaan Media Sosial bagi Masyarakat Luas

Penyalahgunaan media sosial oleh oknum pemerintah memiliki dampak luas, baik sosial, politik, maupun psikologis:

1. Polarisasi Sosial

  • Hoaks dan propaganda memperdalam perpecahan antarkelompok, seperti dalam kasus Saracen di Indonesia (web:10) atau kebencian terhadap Rohingya di Myanmar (UN Human Rights Council, 2018).
  • Contoh: Di India, narasi anti-Muslim di WhatsApp memicu kekerasan komunal (The Guardian, 2024).
  • Dampak: Meningkatnya ketegangan sosial, diskriminasi, dan konflik antarkomunitas (Freedom House, 2024).

2. Erosi Kepercayaan Publik

  • Penyebaran disinformasi oleh oknum pemerintah menurunkan kepercayaan terhadap media, institusi, dan informasi online (web:10; The Conversation, 2024).
  • Contoh: Di Filipina, serangan terhadap jurnalis melalui troll farms melemahkan kepercayaan terhadap media independen (Reuters, 2021).
  • Dampak: Masyarakat sulit membedakan fakta dan hoaks, mengurangi partisipasi demokratis (Freedom House, 2024).

3. Pembungkaman Kebebasan Berekspresi

  • Ancaman dan sensor, seperti di Tiongkok dan Filipina, membuat warga takut menyuarakan pendapat (Amnesty International, 2024).
  • Contoh: Postingan X dari @Amnesty (2025) menyoroti penahanan aktivis di Indonesia karena kritik di media sosial, seperti kasus mahasiswi ITB yang dijerat UU ITE (post:0).
  • Dampak: Penurunan aktivisme, terutama di kalangan pemuda, dan dominasi narasi pemerintah (Freedom House, 2024).

4. Kekerasan Fisik dan Genosida

  • Propaganda kebencian, seperti di Myanmar, memicu kekerasan massal dan pengungsian (UN Human Rights Council, 2018).
  • Dampak: Hilangnya nyawa, trauma kolektif, dan krisis kemanusiaan (Amnesty International, 2024).

5. Gangguan Proses Demokrasi

  • Manipulasi opini publik melalui media sosial melemahkan integritas pemilu, seperti di India dan Indonesia (Reuters, 2024; web:10).
  • Contoh: Di Indonesia, hoaks selama Pemilu 2019 memengaruhi persepsi pemilih (The Conversation, 2018).
  • Dampak: Ketidakadilan elektoral dan penurunan partisipasi politik (Freedom House, 2024).

6. Dampak Psikologis

  • Paparan propaganda dan ujaran kebencian meningkatkan kecemasan dan ketidakpastian di kalangan masyarakat (web:19).
  • Contoh: Di Myanmar, komunitas Rohingya mengalami trauma akibat kampanye kebencian online (Amnesty International, 2024).
  • Dampak: Penurunan kesehatan mental dan kohesi sosial (The Conversation, 2024).

Upaya Mitigasi dan Tantangan

1. Regulasi dan Penegakan Hukum

  • Indonesia: UU ITE (2008) digunakan untuk menjerat penyebar hoaks, tetapi sering disalahgunakan untuk membungkam kritik, seperti kasus mahasiswi ITB (post:0; web:23).
  • India: Aturan IT 2021 bertujuan mengendalikan disinformasi, tetapi dianggap membatasi kebebasan berekspresi (Freedom House, 2024).
  • Tantangan: Regulasi sering tidak menargetkan pelaku besar, seperti oknum pemerintah, dan cenderung menekan warga biasa (web:10).

2. Literasi Digital

  • Program literasi digital, seperti yang dianjurkan oleh Kemenko PMK Indonesia (web:11), bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat mengenali hoaks.
  • Contoh: Gerakan “Internet Sehat” di Indonesia mendorong etika bermedia (web:23).
  • Tantangan: Minimnya minat baca, dengan Indonesia peringkat 60 dari 61 negara dalam minat baca (web:23), memperburuk penyebaran hoaks.

3. Peran Platform

  • Facebook dan Twitter/X memperkenalkan fitur penanda hoaks dan moderasi konten (web:23). Contoh: Facebook menandai artikel “Disputed” sejak 2016 (web:23).
  • Tantangan: Platform lambat merespons, seperti dalam kasus Myanmar, dan algoritma sering memperkuat konten sensasional (The Guardian, 2023).

4. Kolaborasi Internasional

  • Organisasi seperti Amnesty International dan Freedom House mendorong standar global untuk melawan disinformasi (Amnesty International, 2024).
  • Tantangan: Negara dengan kontrol internet ketat, seperti Tiongkok, sulit dijangkau (Freedom House, 2024).

5. Pemberdayaan Masyarakat

  • Gerakan seperti #MeToo menunjukkan potensi media sosial untuk melawan narasi manipulatif (web:6).
  • Tantangan: Kurangnya akses internet merata, terutama di daerah pedesaan, membatasi partisipasi (web:3).

Rekomendasi untuk Masa Depan

Untuk mengatasi penyalahgunaan media sosial oleh oknum pemerintah:

  • Pemerintah: Terapkan regulasi yang adil, fokus pada pelaku besar, dan hindari penyalahgunaan hukum untuk membungkam kritik (Freedom House, 2024).
  • Platform: Tingkatkan moderasi konten berbasis AI, hapus akun bot, dan transparan tentang iklan politik (The Guardian, 2023).
  • Masyarakat: Tingkatkan literasi digital, verifikasi informasi sebelum membagikan, dan dukung jurnalis independen (web:6).
  • Komunitas Internasional: Dorong sanksi terhadap negara yang menggunakan media sosial untuk pelanggaran HAM (Amnesty International, 2024).
  • Pendidikan: Integrasikan etika bermedia dalam kurikulum sekolah (web:23).

Penutup

Media sosial telah berkembang dari alat komunikasi menjadi instrumen kekuasaan yang kuat, tetapi penyalahgunaannya oleh oknum pemerintah di negara seperti Indonesia, Filipina, Myanmar, Tiongkok, dan India menimbulkan dampak serius: polarisasi, erosi kepercayaan, pembungkaman, hingga kekerasan (Freedom House, 2024). Kasus seperti Saracen (web:10) dan propaganda di Myanmar (UN Human Rights Council, 2018) menunjukkan bagaimana disinformasi dapat merusak kohesi sosial dan demokrasi. Dengan literasi digital, regulasi yang adil, dan kolaborasi global, masyarakat dapat meminimalkan dampak negatif sambil memaksimalkan potensi positif media sosial (web:6). Seperti dikatakan dalam postingan X oleh @Amnesty (2025), “Kebebasan berekspresi adalah hak, bukan ancaman—lindungi ruang digital untuk semua.” Dengan tindakan kolektif, media sosial dapat kembali menjadi alat pemberdayaan, bukan manipulasi.

Sumber:


BACA JUGA: Pengertian dan Perbedaan Paham Komunisme Menurut Marxisme: Analisis Mendalam

BACA JUGA: Tim Berners-Lee: Pencetus World Wide Web dan Karya Revolusioner yang Mengubah Dunia

BACA JUGA: Dampak Positif dan Negatif Media Sosial di Era 2025: Peluang dan Tantangan dalam Kehidupan Digital



Related Post

User-Generated Content (UGC): Transformasi Digital dan Dampaknya

bonnievillebc.com, 31 MEI 2025Penulis: Riyan WicaksonoEditor: Muhammad KadafiTim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 User-Generated Content…

Perang Informasi di Media Sosial di Amerika Latin dan Amerika Selatan pada 2025: Dinamika Geopolitik Modern

bonnievillebc.com, 24 MEI 2025Penulis: Riyan WicaksonoEditor: Muhammad KadafiTim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 Pada tahun…

Perbedaan Generasi Milenial dan Gen Z dalam Dunia Media Sosial: Sebuah Analisis Mendalam

bonnievillebc.com, 14 MEI 2025Penulis: Riyan WicaksonoEditor: Muhammad KadafiTim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 Media sosial…