Posted On May 24, 2025

Perang Informasi di Media Sosial di Amerika Latin dan Amerika Selatan pada 2025: Dinamika Geopolitik Modern

Werner 0 comments
Perkembangan Sosial Media Era Modern >> Uncategorized >> Perang Informasi di Media Sosial di Amerika Latin dan Amerika Selatan pada 2025: Dinamika Geopolitik Modern
Perang Informasi di Media Sosial di Amerika Latin dan Amerika Selatan pada 2025: Dinamika Geopolitik Modern

bonnievillebc.com, 24 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

Pada tahun 2025, Amerika Latin dan Amerika Selatan menjadi medan pertempuran baru untuk perang informasi di media sosial, mencerminkan ketegangan geopolitik global yang menyerupai Perang Dingin (1947–1991). Meskipun Perang Dingin historis telah berakhir, persaingan antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia untuk memperebutkan pengaruh di kawasan ini telah memanfaatkan platform digital seperti X, Facebook, Instagram, TikTok, dan WhatsApp. Fenomena ini sering disebut sebagai “Perang Dingin digital” karena tidak melibatkan konflik militer langsung, tetapi perjuangan ideologi, ekonomi, dan budaya melalui narasi, propaganda, dan disinformasi.

Amerika Latin dan Amerika Selatan, dengan populasi lebih dari 650 juta jiwa dan tingkat penetrasi internet sekitar 70% pada 2025 (Statista), adalah wilayah strategis karena keragaman politik, sumber daya alam, dan sejarah ketidakstabilan yang membuatnya rentan terhadap pengaruh eksternal. Media sosial telah menjadi alat utama bagi kekuatan global untuk membentuk opini publik, mendukung rezim politik tertentu, atau melemahkan lawan. Artikel ini menganalisis dinamika “tahun ketiga” dari ketegangan ini (dengan asumsi eskalasi signifikan sejak 2023), mencakup latar belakang, karakteristik perang informasi, aktor utama, dampak di kawasan, tantangan, dan prospek masa depan, berdasarkan sumber seperti Medium (2018), VOA News, Kompas.com, NHK World-Japan (2025), Liputan6.com (2024), dan literatur akademik.

1. Latar Belakang

1.1. Konteks Perang Dingin Historis

Perang Dingin (1947–1991) adalah konflik ideologi antara Amerika Serikat (Blok Barat, kapitalis) dan Uni Soviet (Blok Timur, komunis), yang memperebutkan pengaruh global tanpa pertempuran militer langsung. Di Amerika Latin, periode ini ditandai dengan “proxy wars” seperti Perang Saudara Guatemala (1960–1996), kudeta militer di Chili (1973), dan intervensi AS di Kuba (Bay of Pigs, 1961). Media massa, seperti radio dan surat kabar, digunakan untuk propaganda, tetapi keterbatasan teknologi membatasi skala dan kecepatan penyebaran informasi.

Pada 2025, dinamika serupa muncul, tetapi dengan media sosial sebagai medan utama. Ketegangan ini tidak lagi hanya antara AS dan Rusia, tetapi melibatkan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi dan teknologi baru. Laporan Eurasia Group (Januari 2025) memperingatkan bahwa 2025 adalah tahun paling berbahaya secara geopolitik sejak Perang Dingin, dengan dunia memasuki era “G-Zero” tanpa kepemimpinan global yang jelas, memperburuk polarisasi di media sosial.

1.2. Evolusi Media Sosial di Amerika Latin

Media sosial telah mengubah lanskap politik di Amerika Latin dan Amerika Selatan:

  • Penetrasi Internet: Pada 2025, sekitar 450 juta orang di kawasan ini aktif di media sosial, dengan Brasil (150 juta pengguna), Meksiko (100 juta), dan Argentina (40 juta) sebagai pasar terbesar (Statista).
  • Platform Utama: WhatsApp mendominasi komunikasi (80% pengguna di Brasil), diikuti oleh Facebook, Instagram, TikTok, dan X. TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance (Tiongkok), tumbuh pesat, mencapai 50% penetrasi di kalangan usia 18–34.
  • Polarisasi Politik: Media sosial memperkuat polarisasi, seperti terlihat dalam pemilu Brasil 2022 (Jair Bolsonaro vs. Luiz Inácio Lula da Silva) dan protes di Peru 2023. Narasi eksternal dari AS, Tiongkok, dan Rusia memanfaatkan perpecahan ini.

1.3. “Tahun Ketiga” dalam Konteks 2025

Meskipun tidak ada “Perang Dingin baru” yang secara resmi didefinisikan dengan tahun ketiga, eskalasi perang informasi di media sosial di Amerika Latin dapat ditelusuri sejak 2023, ketika:

  • Tiongkok meningkatkan investasi digital melalui Belt and Road Initiative (BRI), termasuk infrastruktur 5G Huawei di Brasil, Chili, dan Peru.
  • Rusia memperluas kehadiran media seperti RT en Español dan Sputnik Mundo, yang menargetkan audiens anti-AS.
  • AS meluncurkan inisiatif Clean Network untuk membatasi pengaruh teknologi Tiongkok, sambil mendanai kampanye anti-disinformasi melalui USAID.

Asumsi “tahun ketiga” ini merujuk pada intensifikasi sejak 2023, dengan 2025 sebagai puncak ketegangan akibat peristiwa global seperti konflik Rusia-Ukraina, ketegangan AS-Tiongkok di Indo-Pasifik, dan polarisasi politik domestik di kawasan.

2. Karakteristik Perang Informasi di Media Sosial

Perang informasi di media sosial pada 2025 memiliki ciri-ciri berikut:

  • Propaganda Digital: Narasi yang dirancang untuk memengaruhi opini publik, seperti kampanye Tiongkok yang mempromosikan “model pembangunan Tionghoa” atau narasi Rusia yang mengecam “imperialisme AS.”
  • Disinformasi dan Misinformasi: Penyebaran berita palsu, seperti klaim bahwa vaksin AS menyebabkan kemandulan (diduga didorong oleh bot Rusia di Bolivia, 2024).
  • Bot dan Akun Palsu: Jaringan bot di X dan WhatsApp digunakan untuk memperkuat narasi, seperti selama pemilu Argentina 2023, di mana akun pro-Rusia memuji kandidat populis.
  • Algoritma Polarisasi: Algoritma media sosial, terutama TikTok dan X, memprioritaskan konten emosional, memperdalam perpecahan ideologis.
  • Kampanye Bertarget: Iklan politik mikro-targeting digunakan untuk memengaruhi demografi tertentu, seperti pemuda perkotaan di Kolombia atau petani di Paraguay.
  • Perang Siber: Serangan siber terhadap infrastruktur digital, seperti peretasan situs pemerintah Venezuela (diduga oleh aktor pro-AS, 2024), sering diiringi kampanye media sosial untuk memperkuat dampak.

Berbeda dengan Perang Dingin historis, kecepatan dan skala media sosial memungkinkan penyebaran narasi dalam hitungan jam, dengan dampak langsung pada opini publik dan stabilitas politik.

3. Aktor Utama dan Strategi

3.1. Amerika Serikat

  • Tujuan: Mempertahankan hegemoni di Belahan Barat, melawan pengaruh Tiongkok dan Rusia, dan mempromosikan demokrasi liberal.
  • Strategi:
    • Mendanai media pro-demokrasi seperti VOA Latin America dan kampanye USAID untuk melawan disinformasi.
    • Menggunakan X dan Facebook untuk mempromosikan narasi anti-Tiongkok, seperti tuduhan “jebakan utang” BRI di Ekuador.
    • Melarang teknologi Tiongkok (Huawei, TikTok) melalui Clean Network, dengan tekanan pada sekutu seperti Brasil dan Meksiko.
  • Contoh: Pada 2024, USAID meluncurkan program literasi media di Guatemala dan Honduras untuk meng counter narasi Rusia tentang konflik Ukraina.

3.2. Tiongkok

  • Tujuan: Meningkatkan pengaruh ekonomi dan budaya, mempromosikan BRI, dan menantang dominasi AS.
  • Strategi:
    • Menggunakan TikTok untuk konten budaya positif, seperti video tentang investasi Tiongkok di pelabuhan Peru.
    • Mendanai media berbahasa Spanyol seperti CGTN Español dan membeli slot iklan di platform lokal.
    • Memanfaatkan diaspora Tionghoa untuk menyebarkan narasi pro-Tiongkok, seperti keberhasilan model pembangunan di Chili.
  • Contoh: Pada 2025, TikTok dilaporkan meningkatkan promosi konten tentang proyek kereta api Tiongkok di Argentina, menjangkau 20 juta penonton.

3.3. Rusia

  • Tujuan: Melemahkan pengaruh AS, mendukung rezim anti-Barat (misalnya, Venezuela, Kuba), dan mempromosikan multipolarisme.
  • Strategi:
    • Mengoperasikan RT en Español dan Sputnik Mundo, yang menargetkan audiens dengan narasi anti-imperialis.
    • Menggunakan bot di X untuk memperkuat sentimen anti-AS, seperti selama protes di Bolivia 2024.
    • Berkolaborasi dengan sekutu lokal, seperti pemerintah Maduro di Venezuela, untuk menyebarkan disinformasi.
  • Contoh: Pada 2023, RT en Español meluncurkan kampanye di WhatsApp yang menuduh AS mendalangi kudeta di Peru, dilihat oleh 5 juta pengguna.

3.4. Aktor Lokal

  • Pemerintah dan Partai Politik: Pemerintah seperti Brasil (Lula) dan Argentina (Milei) menggunakan media sosial untuk memperkuat posisi domestik, sering kali sejajar dengan narasi eksternal (pro-AS atau pro-Tiongkok).
  • Kelompok Masyarakat Sipil: Aktivis dan NGO lokal, seperti di Kolombia, menggunakan X untuk melawan disinformasi, tetapi sering kali menjadi target serangan siber.
  • Media Lokal: Outlet seperti O Globo (Brasil) dan El País (Meksiko) berperan dalam membentuk narasi, tetapi rentan terhadap tekanan politik dan ekonomi.

4. Dampak di Amerika Latin dan Amerika Selatan

4.1. Politik dan Stabilitas

  • Polarisasi: Media sosial memperburuk perpecahan politik, seperti antara kiri (pro-Tiongkok/Rusia) dan kanan (pro-AS) di Brasil dan Venezuela.
  • Pemilu: Kampanye disinformasi memengaruhi pemilu, seperti di Argentina 2023, di mana narasi pro-Rusia meningkatkan dukungan untuk kandidat populis.
  • Protes: Narasi eksternal memicu protes, seperti di Peru 2024, ketika bot Tiongkok dituduh memperkuat keluhan anti-pemerintah.

4.2. Ekonomi

  • Investasi Asing: Persaingan AS-Tiongkok memengaruhi keputusan investasi. Misalnya, larangan Huawei di Brasil meningkatkan biaya infrastruktur 5G.
  • Perdagangan: Narasi anti-AS di media sosial mendorong beberapa negara (misalnya, Bolivia) untuk memperdalam hubungan dagang dengan Tiongkok.

4.3. Sosial dan Budaya

  • Kepercayaan Publik: Disinformasi, seperti teori konspirasi tentang vaksin, menurunkan kepercayaan terhadap institusi di Meksiko dan Peru.
  • Identitas Regional: Narasi Tiongkok tentang “kolaborasi Selatan-Selatan” menarik di kalangan pemuda, tetapi bersaing dengan budaya pop Barat yang dominan.

4.4. Keamanan Siber

  • Serangan Siber: Peretasan situs pemerintah dan media, seperti di Kolombia (2024), sering dihubungkan dengan aktor Rusia atau Tiongkok.
  • Privasi Data: Kekhawatiran tentang pengawasan TikTok oleh Tiongkok memicu debat di Chili dan Uruguay.

5. Tantangan

5.1. Regulasi Media Sosial

  • Ketiadaan Kerangka Hukum: Banyak negara, seperti Paraguay dan Ekuador, kekurangan regulasi untuk mengatasi disinformasi tanpa membatasi kebebasan berbicara.
  • Tekanan Eksternal: AS dan Tiongkok memengaruhi kebijakan platform, seperti ketika Brasil menghadapi tekanan AS untuk membatasi TikTok.

5.2. Literasi Digital

  • Pendidikan Terbatas: Hanya 30% populasi di kawasan ini memiliki keterampilan literasi digital yang memadai (UNESCO, 2024), membuat mereka rentan terhadap disinformasi.
  • Ketimpangan Akses: Daerah pedesaan, seperti di Bolivia, memiliki akses internet terbatas, membatasi penyebaran informasi yang akurat.

5.3. Ketergantungan Teknologi

  • Dominasi Platform Asing: Ketergantungan pada platform AS (Facebook, X) dan Tiongkok (TikTok) membatasi kedaulatan digital kawasan.
  • Infrastruktur 5G: Persaingan AS-Tiongkok atas 5G memperlambat modernisasi teknologi di Peru dan Meksiko.

5.4. Polarisasi Global

  • Konflik Eksternal: Ketegangan Rusia-Ukraina dan AS-Tiongkok di Indo-Pasifik memperumit dinamika lokal, seperti ketika Venezuela menggunakan narasi Rusia untuk menentang AS.
  • Kurangnya Kepemimpinan: Era “G-Zero” (Eurasia Group, 2025) memperburuk ketidakstabilan, dengan tidak adanya mediator netral.

6. Solusi yang Diusulkan

  1. Regulasi Berbasis Regional:
    • Membentuk badan regional, seperti di bawah Organisasi Negara-negara Amerika (OAS), untuk mengatur disinformasi tanpa sensor berlebihan.
    • Contoh: Chili meluncurkan undang-undang anti-disinformasi pada 2024, yang dapat dijadikan model.
  2. Pendidikan Literasi Digital:
    • Meningkatkan program literasi media, seperti yang dilakukan USAID di Guatemala, dengan fokus pada pemuda dan daerah pedesaan.
    • Berkolaborasi dengan universitas lokal untuk pelatihan verifikasi fakta.
  3. Kedaulatan Digital:
    • Mengembangkan platform media sosial lokal, seperti yang dicoba Meksiko dengan aplikasi berbasis blockchain pada 2024.
    • Berinvestasi dalam infrastruktur 5G netral untuk mengurangi ketergantungan pada AS atau Tiongkok.
  4. Diplomasi dan Kolaborasi:
    • Mempromosikan dialog AS-Tiongkok-Rusia di forum seperti Mercosur untuk mengurangi eskalasi di media sosial.
    • Mengundang aktor netral, seperti Uni Eropa, untuk memediasi kebijakan teknologi.
  5. Pemberdayaan Masyarakat Sipil:
    • Mendukung jurnalis dan aktivis lokal, seperti Factchequeado (Meksiko), untuk melawan disinformasi.
    • Menggunakan X untuk kampanye kesadaran publik oleh NGO.

7. Prospek Masa Depan

Hingga Mei 2025, perang informasi di media sosial di Amerika Latin dan Amerika Selatan kemungkinan akan meningkat karena:

  • Pemilu Mendatang: Pemilu di Brasil (2026) dan Meksiko (2027) akan menjadi target utama kampanye disinformasi.
  • Eskalasi Global: Ketegangan AS-Tiongkok di Indo-Pasifik dan konflik Rusia-Ukraina dapat memperburuk polarisasi di kawasan.
  • Kemajuan Teknologi: AI dan deepfake, seperti yang digunakan dalam video palsu kandidat Kolombia (2024), akan meningkatkan kompleksitas perang informasi.
  • Resistensi Lokal: Gerakan masyarakat sipil, seperti #NoFakeNews di Argentina, menunjukkan potensi untuk melawan disinformasi, tetapi membutuhkan dukungan internasional.

Namun, jika regulasi dan literasi digital ditingkatkan, kawasan ini dapat mengurangi dampak negatif. Laporan NHK World-Japan (2025) menekankan bahwa tanpa kepemimpinan global, ketidakstabilan dapat berlanjut, tetapi inisiatif lokal dan regional memiliki potensi untuk membangun ketahanan.

8. Kesimpulan

Pada 2025, Amerika Latin dan Amerika Selatan menjadi arena perang informasi di media sosial, mencerminkan dinamika Perang Dingin modern antara Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia. Dengan media sosial sebagai alat utama, kekuatan global ini memperebutkan pengaruh melalui propaganda, disinformasi, dan kampanye bertarget, memanfaatkan polarisasi politik dan kerentanan kawasan. Dampaknya meliputi ketidakstabilan politik, konflik ekonomi, dan erosi kepercayaan publik, dengan tantangan seperti kurangnya regulasi dan literasi digital memperburuk situasi.

Meskipun tidak ada “tahun ketiga Perang Dingin” yang didefinisikan secara resmi, eskalasi sejak 2023 menunjukkan intensifikasi perang informasi yang signifikan. Solusi seperti regulasi regional, pendidikan literasi digital, dan kedaulatan digital dapat membantu mengurangi dampak, tetapi memerlukan kolaborasi lintas negara dan masyarakat sipil. Seperti dikatakan oleh Ian Bremmer dari Eurasia Group, “Kita memasuki periode sejarah yang sangat berbahaya,” dan Amerika Latin harus menavigasi tantangan ini dengan hati-hati untuk menjaga stabilitas dan kedaulatan. Dengan langkah yang tepat, kawasan ini dapat mengubah ancaman perang informasi menjadi peluang untuk membangun masyarakat yang lebih terinformasi dan tangguh.

Sumber


BACA JUGA: Panduan Lengkap Travelling ke Negara Palau: Petualangan di Surga Pasifik

BACA JUGA: Lingkungan, Sumber Daya Alam, dan Penduduk Negara Palau: Keberlanjutan di Kepulauan Pasifik

BACA JUGA: Seni dan Tradisi Negara Palau: Warisan Budaya Mikronesia yang Kaya



Related Post

Perkembangan Media Sosial: Penyalahgunaan oleh Oknum Pemerintah dan Dampaknya bagi Masyarakat Luas

bonnievillebc.com, 19 MEI 2025 Penulis: Riyan Wicaksono Editor: Muhammad Kadafi Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan…

Media Sosial sebagai Platform Komunikasi Digital: Transformasi, Dampak, dan Tantangan

Penulis: Riyan WicaksonoEditor: Muhammad KadafiTim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88bonnievillebc.com, 29 Mei 2025 Media sosial…

Media Sosial: Tahun Kemunculan Pertama dan Sejarah Latar Belakangnya

bonnievillebc.com, 22 MEI 2025Penulis: Riyan WicaksonoEditor: Muhammad KadafiTim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 Media sosial…