bonnievillebc.com, 17 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

Media sosial telah menjadi kekuatan transformasional dalam komunikasi global, menghubungkan miliaran orang dan memungkinkan pertukaran informasi secara instan. Di Indonesia, dengan 73,7% populasi aktif menggunakan media sosial per Januari 2022 (sekitar 201,57 juta pengguna), platform seperti Twitter, Instagram, dan WhatsApp telah mengubah cara masyarakat berinteraksi, berbagi opini, dan terlibat dalam diskursus politik (We Are Social). Namun, di balik narasi demokratisasi informasi, media sosial juga telah menjadi alat bagi oligarki—kelompok elit dengan kekayaan, kekuasaan, atau pengaruh politik yang signifikan—untuk memperkuat dominasi mereka. Oligarki memanfaatkan media sosial untuk menyuarakan nilai-nilai politik yang menguntungkan kepentingan mereka, sering kali melalui narasi yang terorganisir, kampanye propaganda, atau manipulasi opini publik. Artikel ini menyajikan analisis mendalam, akurat, dan terpercaya tentang bagaimana media sosial menjadi panggung bagi oligarki untuk menyuarakan nilai politik mereka, dengan fokus pada mekanisme, dampak, dan tantangan dalam konteks Indonesia, berdasarkan sumber seperti Kompas.id, The Conversation, Tirto.id, dan literatur akademik.
1. Pengertian Oligarki dan Media Sosial

1.1 Oligarki
Oligarki, berasal dari kata Yunani oligos (sedikit) dan arkho (memerintah), merujuk pada sistem pemerintahan atau struktur kekuasaan di mana kendali terkonsentrasi pada sekelompok kecil individu atau kelompok elit, seperti yang didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Liputan6.com). Menurut Jeffrey A. Winters, oligarki memiliki dua dimensi: kekayaan dan kekuasaan material yang sulit dipecah, serta jangkauan pengaruh yang luas meskipun mereka minoritas (Katadata.co.id). Di Indonesia, oligarki sering dikaitkan dengan elit politik, pengusaha kaya, atau dinasti politik yang mengendalikan sumber daya ekonomi dan politik, seperti yang terlihat pada masa Orde Baru dan pasca-reformasi (UMJ.ac.id).
1.2 Media Sosial
Media sosial adalah platform berbasis internet yang memungkinkan pengguna untuk berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan konten, seperti blog, jejaring sosial (Facebook, Twitter), dan forum (DJKN.kemenkeu.go.id). Di Indonesia, media sosial telah menjadi ruang publik utama untuk diskusi politik, dengan kecepatan penyebaran informasi yang didukung algoritma tagar (Mojok.co). Namun, platform ini juga rentan terhadap manipulasi, termasuk oleh oligarki yang memiliki sumber daya untuk mengatur narasi (The Conversation).
2. Mekanisme Oligarki Menguasai Media Sosial

Oligarki memanfaatkan media sosial untuk menyuarakan nilai politik mereka melalui beberapa mekanisme yang terorganisir dan strategis:
2.1 Kepemilikan dan Pengaruh Media
- Konsentrasi Kepemilikan Media: Banyak media arus utama di Indonesia dimiliki oleh konglomerasi yang terkait dengan elit politik atau ekonomi. Misalnya, Ross Tapsell mencatat bahwa pada 2017, hanya delapan kelompok media besar yang mendominasi industri berita di Indonesia, sebagian besar dimiliki oleh oligarki Orde Baru yang beradaptasi ke era digital (The Conversation). Pemilik media ini memperluas pengaruh mereka ke platform digital, seperti Kompasiana (Kompas) atau Indonesiana (Tempo), untuk mengontrol narasi (The Conversation).
- Integrasi Bisnis dan Politik: Pemilik media sering terlibat langsung dalam politik, mendirikan partai, atau menempatkan kader di pemerintahan. Hal ini memungkinkan mereka mengarahkan pemberitaan untuk mendukung agenda politik mereka (The Conversation). Contohnya, beberapa pengusaha media mendukung kandidat tertentu selama pemilu untuk memastikan kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka (Tirto.id).
2.2 Kampanye Propaganda dan Buzzer
- Pasukan Siber (Buzzer): Oligarki menggunakan buzzer—akun atau kelompok berbayar—untuk menyebarkan narasi politik di media sosial. Sebuah postingan di X pada Mei 2025 menyebutkan bahwa “kampanye strategis oleh pasukan siber yang disponsori elite melancarkan propaganda politik di media sosial” (post:0). Contohnya, selama Pilkada Jakarta 2017, akun seperti @DennySiregar dan @EkoKuntadhi menjadi terkenal karena mempromosikan narasi pro-Jokowi dan menyerang lawan politik (Tirto.id).
- Manipulasi Tagar: Algoritma media sosial memungkinkan tagar menjadi alat untuk mempolarisasi opini publik. Oligarki memanfaatkan ini untuk membuat topik tertentu menjadi trending, memengaruhi persepsi masyarakat (Mojok.co). Misalnya, selama demonstrasi Bela Islam 2016–2017, media sosial digunakan untuk memperkuat sentimen partisan (The Conversation).
2.3 Hoaks dan Narasi Terpilih
- Penyebaran Hoaks: Oligarki sering mendanai penyebaran informasi palsu untuk mendiskreditkan lawan politik. Contohnya, tabloid Obor Rakyat pada 2014 menyebarkan hoaks bahwa Jokowi adalah keturunan PKI, yang kemudian di amplifikasi di media sosial (Tirto.id).
- Narasi Terpilih: Oligarki menyebarkan pesan yang dirancang untuk mendukung kepentingan mereka, seperti menjaga status quo atau menolak reformasi yang mengancam kekuasaan mereka. Menurut Irine dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, oligarki menolak perubahan yang dapat mengurangi pengaruh mereka (Kompas.id).
2.4 Kontrol Informasi

- Rahasia dan Seleksi Informasi: Seperti oligarki Yunani kuno yang menjaga rahasia kekuasaan, oligarki modern menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi terpilih yang menguntungkan mereka, sambil menyensor kritik (Berdikari Online). Misalnya, pasal karet UU ITE telah digunakan untuk membungkam aktivis yang mengkritik pemerintah di media sosial, seperti Robertus Robet dan Dandhy Laksono (Tirto.id).
- Polarisasi Publik: Oligarki memanfaatkan fragmentasi platform media sosial untuk memecah belah masyarakat, menciptakan kelompok partisan yang sulit berdamai (Kompas.id). Hal ini terlihat pada segregasi sosial-politik pasca-Pemilu 2014, yang diperparah oleh narasi buzzer (Kompas.id).
3. Nilai Politik yang Disuarakan Oligarki
Oligarki menggunakan media sosial untuk mempromosikan nilai-nilai politik yang mendukung kepentingan mereka, antara lain:
- Stabilitas Status Quo: Oligarki cenderung konservatif, mendukung kebijakan yang mempertahankan kekayaan dan kekuasaan mereka. Misalnya, mereka menentang reformasi yang memperkuat redistribusi kekayaan atau pengawasan korupsi (Liputan6.com).
- Kapitalisme dan Kepentingan Korporasi: Kebijakan publik sering diarahkan untuk menguntungkan korporasi besar, seperti relaksasi pajak atau konsesi sumber daya alam, yang didukung oleh narasi media sosial tentang “pertumbuhan ekonomi” (Kompas.id).
- Politik Dinasti dan Nepotisme: Oligarki mempromosikan dinasti politik untuk mempertahankan pengaruh keluarga, seperti yang terlihat di Filipina dengan Dinasti Marcos atau di Indonesia dengan elit partai politik (UMJ.ac.id).
- Nasionalisme Partisan: Untuk memobilisasi dukungan, oligarki sering menggunakan narasi nasionalisme atau agama, seperti selama aksi Bela Islam, untuk mengalihkan perhatian dari isu ketimpangan (The Conversation).
4. Dampak Dominasi Oligarki di Media Sosial

4.1 Ketimpangan Sosial dan Ekonomi
Dominasi oligarki di media sosial memperlebar kesenjangan ekonomi, karena kebijakan publik cenderung menguntungkan elit (Liputan6.com). Misalnya, regulasi ekonomi sering kali melindungi konglomerasi, sementara program kesejahteraan masyarakat terbatas (Kompas.id).
4.2 Erosi Demokrasi
- Partisan Media: Media sosial yang dikuasai oligarki menjadi partisan, mengurangi ruang untuk opini kritis masyarakat sipil (The Columnist). Hal ini melemahkan pilar demokrasi, yaitu kebebasan pers (Mojok.co).
- Korupsi dan Kolusi: Hubungan erat antara oligarki dan pejabat pemerintah memfasilitasi korupsi, seperti dalam pengadaan proyek atau alokasi sumber daya (Kompas.id). Media sosial sering digunakan untuk menutupi skandal ini dengan narasi positif.
4.3 Polarisasi dan Konflik Sosial
Narasi buzzer dan hoaks memperdalam segregasi sosial-politik, seperti yang terlihat pasca-Pemilu 2014 (Kompas.id). Ini menciptakan fanatisme kelompok dan perselisihan di ruang publik, mengancam persatuan nasional (Kompas.id).
4.4 Pembungkaman Kritik
Penggunaan UU ITE untuk menjerat aktivis menunjukkan bagaimana oligarki menggunakan hukum untuk membungkam suara kritis di media sosial, merusak kebebasan berekspresi (Tirto.id).
5. Tantangan dan Perlawanan terhadap Oligarki di Media Sosial

5.1 Tantangan
- Konsentrasi Kepemilikan Media: Monopoli media oleh oligarki sulit ditantang karena sumber daya finansial yang besar (The Conversation).
- Literasi Media Rendah: Banyak masyarakat Indonesia belum memiliki literasi media yang memadai untuk membedakan fakta dan hoaks, membuat mereka rentan terhadap propaganda (The Conversation).
- Kelemahan Regulasi: Regulasi kepemilikan media dan penegakan hukum terhadap buzzer atau hoaks masih lemah (Kompas.id).
5.2 Upaya Perlawanan
- Media Online Independen: Media online yang kritis, seperti The Columnist atau Tirto.id, menjadi alternatif untuk menyuarakan kepentingan masyarakat (The Columnist). Namun, mereka membutuhkan organisasi masyarakat yang kuat untuk efektif (The Columnist).
- Gerakan Sosial: Aksi kolektif, seperti demonstrasi mahasiswa menolak revisi UU KPK pada 2019, menunjukkan resistensi terhadap oligarki (Kompas.id). Media sosial digunakan untuk mengorganisir gerakan ini (Tirto.id).
- Pendidikan Kritis: Pendidikan literasi media dapat membantu masyarakat mengenali narasi oligarki dan hoaks (The Conversation).
- Penguatan Regulasi: Pemerintah perlu menerapkan regulasi ketat terhadap konsentrasi kepemilikan media dan aktivitas buzzer untuk menjaga kebebasan pers (Liputan6.com).
6. Studi Kasus: Pilkada Jakarta 2012 dan 2017
- Pilkada 2012: Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memanfaatkan media sosial sebagai terobosan kampanye dengan dana terbatas (Rp16,3 miliar) dibandingkan lawan mereka (Rp62,6 miliar). Keberhasilan mereka menunjukkan potensi media sosial sebagai alat demokratisasi (Tirto.id). Namun, setelah menang, relawan Jokowi menggunakan media sosial untuk memperkuat narasi pro-pemerintah, menunjukkan bagaimana platform ini dapat diambil alih oleh elit (Tirto.id).
- Pilkada 2017: Media sosial menjadi medan pertempuran narasi antara pendukung Ahok dan lawan-lawannya. Kampanye berbasis agama, seperti aksi Bela Islam, di amplifikasi melalui tagar dan buzzer, menunjukkan bagaimana oligarki dapat memanipulasi sentimen publik untuk kepentingan politik (The Conversation).
7. Solusi untuk Demokrasi yang Lebih Sehat
Untuk mengurangi dominasi oligarki di media sosial, beberapa solusi dapat diterapkan:
- Regulasi Media: Pemerintah harus mengawasi konsentrasi kepemilikan media dan mendorong keberagaman suara (Liputan6.com).
- Transparansi Pendanaan: Kampanye politik di media sosial harus diatur dengan transparansi pendanaan untuk mencegah buzzer berbayar (Kompas.id).
- Literasi Media: Program pendidikan publik tentang literasi media dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap propaganda (The Conversation).
- Penguatan Masyarakat Sipil: Organisasi masyarakat sipil perlu didukung untuk menggunakan media sosial sebagai alat perlawanan terhadap narasi oligarki (The Columnist).
- Penegakan Hukum yang Adil: UU ITE harus direvisi untuk melindungi kebebasan berekspresi dan mencegah penyalahgunaan oleh elit (Tirto.id).
8. Kesimpulan
Media sosial, meskipun awalnya dianggap sebagai alat demokratisasi, telah menjadi panggung bagi oligarki untuk menyuarakan nilai politik mereka di Indonesia. Melalui kepemilikan media, kampanye buzzer, penyebaran hoaks, dan kontrol informasi, oligarki memanipulasi opini publik untuk mempertahankan kekayaan, kekuasaan, dan status quo. Dampaknya meliputi ketimpangan sosial, erosi demokrasi, polarisasi masyarakat, dan pembungkaman kritik. Namun, perlawanan melalui media online independen, gerakan sosial, dan pendidikan literasi media menawarkan harapan untuk melawan dominasi ini. Seperti dikatakan oleh Usman Hamid, “Demokrasi masih bertahan atas resistensi dan resiliensi kekuatan non-oligarki” (Kompas.id). Dengan regulasi yang kuat, kesadaran publik, dan aksi kolektif, media sosial dapat kembali menjadi ruang yang benar-benar demokratis, bukan sekadar alat bagi segelintir elit untuk memperkuat kekuasaan mereka.
Referensi
- Kompas.id. (2021). Intelektual Organik. https://www.kompas.id
- Mojok.co. (2019). Saat Oligarki Media Mainstream Dihadang oleh Kekuatan Media Sosial. https://mojok.co
- UMJ.ac.id. (2023). Oligarki Hukumnya Makruh. https://umj.ac.id
BACA JUGA: Detail Planet Mars: Karakteristik, Struktur, dan Misteri Terkecil di Tata Surya
BACA JUGA: Cerita Rakyat Tiongkok: Warisan Budaya, Makna, dan Pengaruhnya
BACA JUGA: Perbedaan Perkembangan Media Sosial Tahun 2020-2025: Analisis Lengkap Secara Mendalam