Posted On May 23, 2025

Tahun Kedua Kemunculan Media Sosial sebagai Pemicu Konflik di Amerika Selatan

Werner 0 comments
Perkembangan Sosial Media Era Modern >> Uncategorized >> Tahun Kedua Kemunculan Media Sosial sebagai Pemicu Konflik di Amerika Selatan
Tahun Kedua Kemunculan Media Sosial sebagai Pemicu Konflik di Amerika Selatan

bonnievillebc.com, 23 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

Media sosial, sebagai platform digital yang memungkinkan pengguna untuk berbagi informasi, terhubung, dan berinteraksi, mulai muncul pada akhir 1990-an dengan peluncuran Six Degrees pada 1997, diikuti oleh Friendster (2002), MySpace (2003), dan Facebook (2004). Tahun kedua kemunculan platform pionir ini—misalnya, 1998 untuk Six Degrees atau 2003 untuk Friendster—menandai awal transformasi komunikasi global, termasuk di Amerika Selatan. Di kawasan ini, yang ditandai oleh ketimpangan ekonomi, polarisasi politik, dan sejarah konflik sosial, media sosial mulai memengaruhi cara masyarakat berkomunikasi, mengorganisasi diri, dan bahkan memicu konflik. Meskipun pada periode awal ini penggunaan internet dan media sosial di Amerika Selatan masih terbatas karena infrastruktur teknologi yang belum merata, platform-platform awal ini meletakkan dasar bagi dampak sosial dan politik yang lebih besar di tahun-tahun berikutnya. Artikel ini akan menguraikan konteks kemunculan media sosial, situasi sosial-politik Amerika Selatan pada periode tersebut, peran media sosial sebagai pemicu konflik, dan relevansinya bagi masa depan, berdasarkan sumber-sumber terpercaya dan analisis kritis.

Konteks Kemunculan Media Sosial

1. Definisi dan Sejarah Awal Media Sosial

Menurut Andreas Kaplan dan Michael Haenlein, media sosial adalah “kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, memungkinkan penciptaan dan pertukaran konten yang dihasilkan pengguna”. Platform awal seperti Six Degrees (diluncurkan 1997) memungkinkan pengguna membuat profil dan terhubung dengan teman, memperkenalkan konsep “jaringan sosial” berbasis digital. Pada 1998, tahun kedua Six Degrees, platform ini mulai menarik perhatian, meskipun penggunaannya terbatas pada pengguna internet awal di negara-negara maju. Friendster, yang diluncurkan pada 2002, menjadi populer pada 2003 (tahun keduanya), terutama di kalangan remaja dan dewasa muda, dengan fitur seperti berbagi foto, video, dan grup minat.

Media sosial awal ini memiliki dampak positif, seperti memudahkan interaksi lintas wilayah dan mempercepat penyebaran informasi, tetapi juga memiliki potensi negatif, seperti polarisasi opini, penyebaran informasi yang tidak terverifikasi, dan konflik berbasis identitas. Di Amerika Selatan, di mana akses internet masih terbatas pada kelas menengah perkotaan pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an, adopsi media sosial awal ini lambat tetapi mulai memengaruhi dinamika sosial di kota-kota besar seperti São Paulo, Buenos Aires, dan Bogotá.

2. Tahun Kedua Platform Utama

  • 1998 (Six Degrees): Pada tahun kedua, Six Degrees memiliki puluhan ribu pengguna, sebagian besar di Amerika Utara dan Eropa. Di Amerika Selatan, penggunaannya sangat terbatas karena rendahnya penetrasi internet (kurang dari 5% populasi pada 1998, menurut data Bank Dunia). Namun, platform ini mulai dikenal di kalangan pelajar dan profesional di kota-kota besar, yang menggunakan komputer di universitas atau warnet.
  • 2003 (Friendster): Friendster menjadi fenomena global pada 2003, dengan jutaan pengguna di seluruh dunia. Di Amerika Selatan, platform ini populer di kalangan anak muda di Brasil, Argentina, dan Kolombia, yang mulai mengakses internet melalui warnet dan koneksi dial-up. Friendster memperkenalkan fitur seperti grup minat, yang memungkinkan pengguna mendiskusikan isu sosial dan politik, termasuk ketimpangan ekonomi dan ketegangan politik di kawasan.

Konteks Sosial-Politik Amerika Selatan (1998–2003)

Amerika Selatan pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an berada dalam periode transisi yang penuh gejolak, yang menjadi latar belakang potensi konflik yang diperkuat oleh media sosial:

1. Krisis Ekonomi dan Ketimpangan Sosial

  • Argentina (1998–2002): Argentina mengalami krisis ekonomi parah yang memuncak pada 2001–2002, dikenal sebagai Crisis de Diciembre. Kolaps peso Argentina menyebabkan pengangguran massal, kemiskinan melonjak hingga 57%, dan protes besar-besaran di Buenos Aires. Kelompok-kelompok masyarakat, seperti piqueteros (pengangguran yang memblokir jalan), mulai mengorganisasi diri melalui komunikasi offline, tetapi pada 2003, platform seperti Friendster mulai digunakan untuk menyebarkan informasi protes dan menggalang solidaritas.
  • Brasil: Pada akhir 1990-an, Brasil menghadapi ketimpangan ekonomi yang ekstrem, dengan favelas di Rio de Janeiro dan São Paulo menjadi pusat konflik sosial. Gerakan seperti Movimento dos Sem Terra (MST), yang memperjuangkan reforma agraria, mulai menggunakan internet untuk menyebarkan pesan mereka, meskipun masih terbatas pada email dan situs web sederhana.
  • Kolombia: Konflik bersenjata antara pemerintah, gerilyawan FARC, dan paramiliter berlangsung intens pada periode ini. Ketegangan sosial di kota-kota seperti Bogotá diperparah oleh pengungsian massal dari pedesaan. Internet mulai digunakan oleh aktivis untuk mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia, meskipun media sosial belum menjadi alat utama.

2. Polarisasi Politik

  • Banyak negara di Amerika Selatan mengalami polarisasi antara pemerintah neoliberal (didukung AS) dan gerakan kiri yang menentang globalisasi. Misalnya, di Venezuela, Hugo Chávez terpilih pada 1998 dan mulai menerapkan kebijakan sosialis, yang memicu konflik dengan kelas menengah dan elit. Pada 2002–2003, protes besar-besaran dan upaya kudeta terhadap Chávez meningkatkan ketegangan, dengan internet mulai digunakan untuk menyebarkan propaganda dari kedua belah pihak.
  • Di Bolivia, Perang Air Cochabamba (2000) dan protes berikutnya terhadap privatisasi sumber daya menunjukkan kekuatan organisasi rakyat. Pada 2003, platform seperti Friendster mulai digunakan oleh aktivis untuk menyebarkan informasi tentang protes, meskipun skala penggunaannya masih kecil.

3. Penetrasi Internet di Amerika Selatan

Menurut laporan ITU (International Telecommunication Union), penetrasi internet di Amerika Selatan pada 1998–2003 sangat rendah:

  • 1998: Kurang dari 5% populasi memiliki akses internet, terutama di Brasil (São Paulo, Rio), Argentina (Buenos Aires), dan Chili (Santiago).
  • 2003: Penetrasi meningkat menjadi sekitar 10–15% di kota-kota besar, didorong oleh warnet dan investasi infrastruktur. Brasil memiliki jumlah pengguna internet terbesar di kawasan, diikuti oleh Argentina dan Kolombia.

Akses yang terbatas ini berarti bahwa media sosial pada tahun kedua kemunculannya hanya digunakan oleh kelompok terdidik dan kelas menengah perkotaan, tetapi pengaruhnya mulai terasa dalam diskusi politik dan sosial.

Peran Media Sosial sebagai Pemicu Konflik

Meskipun dampak media sosial pada 1998 (Six Degrees) dan 2003 (Friendster) di Amerika Selatan masih terbatas dibandingkan dekade berikutnya, platform ini mulai memainkan peran sebagai katalis konflik dalam beberapa cara:

1. Penyebaran Informasi Cepat dan Polarisasi

  • 1998 (Six Degrees): Platform ini memungkinkan pengguna mendiskusikan isu sosial dalam forum sederhana. Di Argentina, misalnya, mahasiswa dan aktivis mulai menggunakan Six Degrees untuk berbagi informasi tentang krisis ekonomi, meskipun skalanya kecil. Diskusi ini sering kali memicu polarisasi antara pendukung pemerintah dan kritikus, karena platform tidak memiliki mekanisme moderasi yang kuat.
  • 2003 (Friendster): Friendster lebih populer di kalangan anak muda Amerika Selatan, yang menggunakan grup minat untuk mendiskusikan isu seperti korupsi, ketimpangan, dan protes. Di Venezuela, kelompok pro- dan anti-Chávez mulai membentuk komunitas online, menyebarkan narasi yang saling bertentangan. Menurut Ali Murat Kirik, pakar media digital, media sosial dapat “membentuk persepsi dan mendesain ulang masyarakat,” yang pada periode ini mulai terlihat dalam polarisasi opini.

2. Organisasi Protes dan Aktivisme Digital

  • Di Argentina, pasca-krisis 2001, Friendster pada 2003 digunakan oleh kelompok aktivis untuk mengoordinasikan protes kecil dan berbagi informasi tentang aksi piqueteros. Meskipun organisasi utama masih dilakukan secara offline, media sosial mulai mempercepat penyebaran informasi, memungkinkan protes menyebar ke kota-kota lain seperti Rosario dan Córdoba.
  • Di Brasil, gerakan seperti MST mulai menggunakan Friendster untuk menarik dukungan dari kalangan mahasiswa di São Paulo dan Rio de Janeiro. Diskusi online tentang reforma agraria sering kali memicu ketegangan dengan pendukung agribisnis, yang juga aktif di platform ini.

3. Penyebaran Disinformasi

  • Media sosial awal tidak memiliki mekanisme verifikasi konten, yang memungkinkan penyebaran informasi yang tidak akurat. Di Venezuela pada 2003, misalnya, rumor tentang rencana kudeta atau tindakan represif pemerintah sering kali menyebar melalui Friendster dan email, meningkatkan ketegangan antara pendukung dan penentang Chávez.
  • Menurut Felix Gustino Tjuatja, penyebaran hoaks melalui media sosial dapat menciptakan ketidakpastian dan memperkeruh hubungan antar kelompok masyarakat, terutama dalam konteks konflik politik atau etnis. Meskipun fenomena ini lebih menonjol pada dekade berikutnya, benihnya sudah terlihat pada 2003.

4. Konflik Berbasis Identitas

  • Media sosial awal mulai memperkuat politik identitas di Amerika Selatan. Di Bolivia, diskusi online tentang hak-hak masyarakat adat (seperti Aymara dan Quechua) versus elit perkotaan mulai muncul di Friendster, terutama setelah Perang Gas 2003, yang menyebabkan puluhan kematian. Platform ini memungkinkan kelompok adat berbagi cerita mereka, tetapi juga memicu ujaran kebencian dari kelompok yang menentang.
  • Francis Fukuyama mencatat bahwa media sosial dapat menjadi wadah “politik kebencian” dengan menghapus batas-batas kesopanan, sebuah tren yang mulai terlihat pada periode ini meskipun dalam skala kecil.

Contoh Konflik Spesifik di Amerika Selatan

Karena keterbatasan data langsung tentang konflik yang dipicu media sosial pada 1998 atau 2003 di Amerika Selatan, berikut adalah analisis berdasarkan tren dan konteks historis:

1. Argentina: Krisis 2001–2003

  • Konteks: Krisis ekonomi Argentina memicu protes massal pada 2001, yang berlanjut hingga 2003 dengan demonstrasi sporadis. Friendster pada 2003 mulai digunakan oleh mahasiswa dan aktivis untuk menyebarkan informasi tentang protes, seperti lokasi demonstrasi dan laporan polisi. Grup-grup seperti “Argentina en Crisis” di Friendster menjadi ruang diskusi, tetapi juga memicu konflik verbal antara pendukung pemerintah dan aktivis.
  • Dampak Media Sosial: Meskipun skalanya kecil, penyebaran informasi melalui Friendster mempercepat mobilisasi protes di Buenos Aires dan meningkatkan polarisasi. Misalnya, postingan yang menuduh pemerintah korup sering kali memicu komentar agresif dari pendukung pemerintah, menciptakan ketegangan online yang kadang-kadang berlanjut ke dunia nyata.

2. Venezuela: Ketegangan Politik 2002–2003

  • Konteks: Setelah upaya kudeta gagal terhadap Hugo Chávez pada April 2002, Venezuela mengalami protes besar-besaran pada 2002–2003, termasuk pemogokan nasional yang dipimpin oleh oposisi. Friendster mulai digunakan oleh kelompok pro- dan anti-Chávez untuk menyebarkan propaganda, seperti video protes atau tuduhan korupsi.
  • Dampak Media Sosial: Grup-grup di Friendster menjadi wadah untuk ujaran kebencian, dengan pendukung Chávez menuduh oposisi sebagai “pengkhianat” dan oposisi menyebut Chávez sebagai “diktator.” Meskipun internet hanya diakses oleh sekitar 10% populasi Venezuela pada 2003, diskusi online ini memperkuat polarisasi, yang kemudian memicu bentrokan kecil di Caracas.

3. Bolivia: Perang Gas 2003

  • Konteks: Pada Oktober 2003, Bolivia mengalami Perang Gas, protes massal terhadap rencana ekspor gas alam yang dianggap menguntungkan perusahaan asing. Protes ini menyebabkan puluhan kematian dan pengunduran diri Presiden Gonzalo Sánchez de Lozada.
  • Dampak Media Sosial: Friendster digunakan oleh aktivis di La Paz dan El Alto untuk menyebarkan informasi tentang protes dan mendokumentasikan kekerasan polisi. Postingan tentang kematian warga sipil memicu kemarahan online, yang memperluas dukungan untuk protes. Namun, platform ini juga menjadi tempat penyebaran rumor, seperti tuduhan bahwa pemerintah didukung oleh “imperialis AS,” yang meningkatkan ketegangan.

Relevansi dan Proyeksi Masa Depan

1. Dampak Jangka Panjang Media Sosial di Amerika Selatan

Pengalaman awal dengan media sosial pada 1998–2003 meletakkan dasar bagi peran platform ini dalam konflik di Amerika Selatan pada dekade berikutnya. Misalnya:

  • Brasil (2013–2016): Protes massal terhadap kenaikan harga transportasi dan korupsi pada 2013, serta krisis politik yang menyebabkan impeachment Dilma Rousseff pada 2016, sangat dipengaruhi oleh media sosial seperti Facebook dan Twitter. Platform ini digunakan untuk mengorganisasi protes dan menyebarkan narasi pro- dan anti-pemerintah, memperkuat polarisasi.
  • Venezuela (2014–2019): Krisis ekonomi dan protes terhadap Nicolás Maduro diperkuat oleh Twitter dan Instagram, yang menjadi alat untuk menyebarkan video kekerasan polisi dan menggalang dukungan internasional. Namun, platform ini juga menjadi sarang hoaks dan propaganda.

2. Tantangan dan Solusi

Media sosial terus menjadi pemicu konflik karena beberapa faktor:

  • Polarisasi: Platform seperti Friendster menunjukkan bahwa media sosial dapat memperkuat perpecahan dengan memungkinkan pengguna bergabung dengan kelompok yang sejalan dengan pandangan mereka, menciptakan “kamera gema”.
  • Disinformasi: Penyebaran hoaks, seperti yang terlihat pada 2003 di Venezuela, tetap menjadi masalah hingga 2025, terutama dalam konteks pemilu dan krisis politik.
  • Kurangnya Regulasi: Tidak adanya moderasi konten pada platform awal memungkinkan ujaran kebencian dan propaganda menyebar, sebuah masalah yang berlanjut hingga era Facebook dan TikTok.

Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa solusi yang diusulkan meliputi:

  • Literasi Digital: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang verifikasi informasi, seperti yang direkomendasikan oleh Felix Gustino Tjuatja, dapat mengurangi dampak hoaks.
  • Regulasi Platform: Pemerintah dan perusahaan teknologi perlu bekerja sama untuk mengembangkan mekanisme moderasi yang efektif tanpa membatasi kebebasan berekspresi.
  • Dialog Terbuka: Mendorong ruang diskusi online yang inklusif dapat mengurangi polarisasi, seperti yang dilakukan oleh inisiatif masyarakat sipil di Brasil dan Argentina.

3. Masa Depan Media Sosial di Amerika Selatan

Hingga Mei 2025, media sosial tetap menjadi alat ganda di Amerika Selatan: pendorong demokrasi melalui aktivisme digital dan pemicu konflik melalui polarisasi dan disinformasi. Dengan meningkatnya penetrasi internet (mencapai 70–80% di banyak negara pada 2025, menurut ITU), platform seperti TikTok, Instagram, dan WhatsApp terus membentuk opini publik. Pemerintah di kawasan ini perlu mengembangkan kebijakan yang menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan pencegahan konflik, sementara masyarakat sipil dapat memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan perdamaian dan dialog.

Kesimpulan

Tahun kedua kemunculan media sosial—1998 untuk Six Degrees dan 2003 untuk Friendster—menandai awal transformasi komunikasi di Amerika Selatan, meskipun dampaknya masih terbatas karena rendahnya akses internet. Di tengah krisis ekonomi, polarisasi politik, dan ketegangan sosial di negara-negara seperti Argentina, Venezuela, dan Bolivia, platform awal ini mulai memengaruhi cara masyarakat mengorganisasi protes, menyebarkan informasi, dan memperkuat konflik berbasis identitas. Meskipun skala konflik yang dipicu media sosial pada periode ini kecil dibandingkan dekade berikutnya, Six Degrees dan Friendster meletakkan dasar bagi peran media sosial sebagai katalis polarisasi dan aktivisme digital.

Dengan mempelajari periode awal ini, kita dapat memahami bagaimana media sosial berevolusi menjadi alat yang kuat namun berisiko di Amerika Selatan. Tantangan seperti disinformasi, ujaran kebencian, dan kurangnya regulasi, yang pertama kali muncul pada 1998–2003, tetap relevan hingga 2025. Dengan literasi digital, regulasi yang bijaksana, dan dialog inklusif, media sosial dapat diarahkan untuk mendukung perdamaian dan demokrasi di kawasan ini, bukan memperburuk konflik. Seperti yang dikatakan oleh Amy Jo Martin, “Media sosial adalah penyama akhir, memberikan suara dan platform kepada siapa saja yang ingin terlibat”—namun, suara ini harus dikelola dengan bijak untuk mencegahnya menjadi sumber perpecahan.


BACA JUGA: Pengertian dan Perbedaan Paham Komunisme Menurut Marxisme: Analisis Mendalam

BACA JUGA: Tim Berners-Lee: Pencetus World Wide Web dan Karya Revolusioner yang Mengubah Dunia

BACA JUGA: Dampak Positif dan Negatif Media Sosial di Era 2025: Peluang dan Tantangan dalam Kehidupan Digital



Related Post

Media Sosial sebagai Panggung Oligarki: Menyuarakan Nilai Politik melalui Kuasa Media

bonnievillebc.com, 17 MEI 2025Penulis: Riyan WicaksonoEditor: Muhammad KadafiTim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 Media sosial…

Media Sosial: Tahun Kemunculan Pertama dan Sejarah Latar Belakangnya

bonnievillebc.com, 22 MEI 2025Penulis: Riyan WicaksonoEditor: Muhammad KadafiTim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 Media sosial…

Perang Informasi Media Sosial Rusia dan Ukraina Sebelum Konflik 2022

bonnievillebc.com, 25 MEI 2025Penulis: Riyan WicaksonoEditor: Muhammad KadafiTim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 Perang informasi…