Posted On May 18, 2025

Hukum Konstitusi Media Sosial di Mata Publik Figur: Penjelasan Mendalam

Werner 0 comments
Perkembangan Sosial Media Era Modern >> Uncategorized >> Hukum Konstitusi Media Sosial di Mata Publik Figur: Penjelasan Mendalam
Hukum Konstitusi Media Sosial di Mata Publik Figur: Penjelasan Mendalam

bonnievillebc.com, 18 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan modern, termasuk bagi publik figur seperti politisi, selebritas, dan influencer, yang menggunakan platform ini untuk berkomunikasi dengan pengikut, membangun citra, dan memengaruhi opini publik. Namun, penggunaan media sosial juga membawa tantangan hukum, terutama dalam konteks hukum konstitusi, yang mengatur hak dan kewajiban individu dalam menyampaikan pendapat serta perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Di Indonesia, konstitusi, khususnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), menjadi landasan utama yang mengatur kebebasan berekspresi, perlindungan nama baik, dan batasan hukum dalam ruang digital. Artikel ini akan mengulas secara mendetail dan terpercaya hukum konstitusi terkait penggunaan media sosial oleh publik figur, dengan fokus pada kebebasan berekspresi, tanggung jawab hukum, dan tantangan yang dihadapi, serta memberikan penjelasan berdasarkan peraturan perundang-undangan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dan literatur akademik terpercaya.


1. Kerangka Hukum Konstitusi Media Sosial di Indonesia

1.1. Pengertian Konstitusi

Konstitusi adalah norma sistem politik dan hukum yang menjadi dasar penyelenggaraan negara, biasanya dikodifikasi dalam dokumen tertulis seperti UUD 1945 di Indonesia. Menurut KBBI, konstitusi mencakup segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan, termasuk undang-undang dasar. M. Solly Lubis menjelaskan bahwa konstitusi berasal dari bahasa Prancis constituer (membentuk), yang berarti pembentukan negara atau pengaturan dasar pemerintahan. Dalam konteks media sosial, konstitusi mengatur hak dan kewajiban individu, termasuk publik figur, dalam ruang publik digital, dengan memastikan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan HAM lainnya.

1.2. Landasan Konstitusional: UUD 1945

UUD 1945 memberikan landasan hukum bagi penggunaan media sosial, terutama melalui pasal-pasal berikut:

  • Pasal 28E ayat (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Pasal ini menjamin kebebasan berekspresi, termasuk di media sosial, bagi semua warga negara, termasuk publik figur.
  • Pasal 28F: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Pasal ini mencakup hak akses dan penyebaran informasi melalui platform digital.
  • Pasal 28J ayat (2): “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Pasal ini menegaskan bahwa kebebasan berekspresi tidak bersifat mutlak dan harus diimbangi dengan tanggung jawab.

1.3. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Meskipun UUD 1945 adalah landasan konstitusional, regulasi teknis penggunaan media sosial diatur oleh UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang telah diubah melalui UU No. 19 Tahun 2016. UU ITE mengatur berbagai aspek penggunaan media sosial, termasuk:

  • Pasal 27 ayat (3): Melarang penyebaran informasi elektronik yang mencemarkan nama baik atau menyerang kehormatan seseorang.
  • Pasal 28 ayat (1): Melarang penyebaran berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
  • Pasal 28 ayat (2): Melarang penyebaran informasi yang memicu kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
  • Pasal 45A: Mengatur sanksi pidana untuk pelanggaran Pasal 28, yaitu penjara hingga 6 tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar.

UU ITE menjadi instrumen utama untuk menegakkan hukum di ruang digital, tetapi sering dikritik karena potensi penyalahgunaannya, terutama dalam kasus pencemaran nama baik yang melibatkan publik figur.

1.4. Perlindungan Hak Asasi Digital

Hak asasi digital, sebagaimana dijelaskan oleh Kartika Puspitasari dari Sekretariat Kabinet, mencakup hak masyarakat untuk mengakses, menggunakan, menciptakan, dan menyebarkan informasi digital. Pasal 26 ayat (1) UU ITE menegaskan bahwa penggunaan data pribadi melalui media elektronik harus mendapat persetujuan dari yang bersangkutan, melindungi hak privasi sebagai bagian dari HAM. Publik figur, meskipun memiliki eksposur tinggi, juga dilindungi oleh ketentuan ini terhadap pelanggaran seperti doxing (penyebaran data pribadi tanpa izin) atau cyberbullying.


2. Kebebasan Berekspresi Publik Figur di Media Sosial

2.1. Hak Konstitusional Publik Figur

Publik figur, seperti selebritas, politisi, atau influencer, memiliki hak konstitusional yang sama dengan warga negara lainnya untuk berekspresi di media sosial, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945. Media sosial memungkinkan mereka untuk:

  • Membangun Citra Publik: Publik figur menggunakan platform seperti Instagram, Twitter, dan YouTube untuk memperkuat personal branding dan berkomunikasi langsung dengan pengikut.
  • Mempengaruhi Opini Publik: Menurut artikel di Kompasiana, media sosial adalah alat efektif bagi publik figur untuk membentuk opini publik, terutama dalam isu politik, sosial, atau budaya.
  • Berpartisipasi dalam Demokrasi: Publik figur, terutama politisi, dapat menggunakan media sosial untuk menyampaikan visi, mendengar aspirasi masyarakat, dan memobilisasi dukungan.

Namun, kebebasan ini tidak mutlak. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa ekspresi harus menghormati hak orang lain, termasuk hak atas nama baik dan privasi.

2.2. Pengaruh Publik Figur

Publik figur memiliki pengaruh besar di media sosial karena jumlah pengikut yang banyak. Menurut Kompasiana, konten yang dibagikan oleh publik figur dapat memengaruhi perilaku dan pandangan masyarakat secara luas. Hal ini menimbulkan tanggung jawab tambahan untuk memastikan bahwa konten yang disebarkan akurat, tidak memicu konflik, dan sesuai dengan norma hukum dan etika. Contohnya, ujaran seorang publik figur yang bersifat provokatif atau mengandung SARA dapat dengan cepat menjadi viral dan memicu keresahan sosial.

2.3. Batasan Kebebasan Berekspresi

Kebebasan berekspresi publik figur dibatasi oleh beberapa ketentuan hukum:

  • Pencemaran Nama Baik: Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 310 KUHP mengatur larangan mencemarkan nama baik. Publik figur sering menjadi pelaku atau korban kasus pencemaran nama baik di media sosial. Misalnya, unggahan yang menyerang reputasi individu lain dapat berujung pada gugatan hukum.
  • Ujaran Kebencian dan SARA: Pasal 28 ayat (2) UU ITE melarang ujaran yang memicu kebencian berdasarkan SARA, dengan ancaman pidana hingga 6 tahun penjara. Publik figur harus berhati-hati dalam menyampaikan pendapat yang sensitif terhadap isu suku, agama, atau ras.
  • Berita Bohong (Hoaks): Pasal 28 ayat (1) UU ITE melarang penyebaran berita bohong yang merugikan konsumen atau masyarakat. Publik figur yang menyebarkan hoaks, baik sengaja maupun tidak, dapat dikenakan sanksi hukum.
  • Hak Asasi Orang Lain: Menurut Komnas HAM, kebebasan berekspresi harus menghormati HAM orang lain, seperti hak atas kehormatan dan martabat. Publik figur yang menggunakan media sosial untuk menyerang atau melecehkan individu lain dapat melanggar prinsip ini.

3. Tanggung Jawab Hukum Publik Figur di Media Sosial

3.1. Pencemaran Nama Baik

Pencemaran nama baik adalah salah satu pelanggaran hukum yang sering melibatkan publik figur di media sosial. Hukum pencemaran nama baik diatur dalam:

  • Pasal 310 KUHP: Mengatur pencemaran nama baik secara umum, baik lisan maupun tulisan.
  • Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 (perubahan UU ITE): Mengatur pencemaran nama baik di ruang digital, dengan sanksi pidana hingga 2 tahun penjara dan/atau denda Rp400 juta. Delik ini bersifat aduan, artinya hanya korban yang dapat melaporkan.

Publik figur sering menjadi sasaran pencemaran nama baik karena eksposur mereka yang tinggi, tetapi mereka juga dapat menjadi pelaku jika tidak berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan. Misalnya, seorang selebritas yang mengunggah tuduhan tanpa bukti terhadap individu lain dapat dilaporkan atas pencemaran nama baik.

3.2. Ujaran Kebencian dan SARA

Ujaran kebencian, terutama yang berkaitan dengan SARA, adalah pelanggaran serius di media sosial. Pasal 45A ayat (2) UU ITE menetapkan pidana hingga 6 tahun penjara dan/atau denda Rp1 miliar bagi pelaku. Publik figur, karena pengaruhnya yang besar, memiliki tanggung jawab lebih untuk menghindari ujaran yang memicu permusuhan. Contoh kasus adalah ketika seorang politisi mengunggah pernyataan yang dianggap menghina kelompok agama tertentu, yang dapat memicu keresahan sosial dan proses hukum.

3.3. Penyebaran Hoaks

Penyebaran berita bohong oleh publik figur dapat memiliki dampak luas karena kepercayaan pengikut terhadap mereka. Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur sanksi bagi penyebaran hoaks yang merugikan, dengan ancaman pidana hingga 6 tahun penjara. Publik figur harus memverifikasi informasi sebelum membagikannya untuk menghindari pelanggaran hukum dan dampak sosial yang negatif, seperti kepanikan masyarakat atau kerugian ekonomi.

3.4. Perlindungan Data Pribadi

Publik figur sering menjadi korban pelanggaran privasi, seperti doxing atau penyebaran data pribadi tanpa izin. Pasal 26 ayat (1) UU ITE melindungi hak privasi dengan mewajibkan persetujuan untuk penggunaan data pribadi. Namun, publik figur juga harus berhati-hati agar tidak melanggar privasi orang lain, misalnya dengan membagikan informasi sensitif tanpa izin.

3.5. Kasus Hukum Terkait Publik Figur

Beberapa kasus hukum yang melibatkan publik figur di Indonesia menunjukkan kompleksitas penerapan hukum di media sosial:

  • Kasus Ruslan Buton (2020): Seorang aktivis mengunggah kritik terhadap Presiden di media sosial, yang dianggap sebagai penghinaan. Kasus ini memicu debat tentang batas kebebasan berekspresi versus perlindungan terhadap tokoh negara.
  • Kasus Pencemaran Nama Baik Selebritas: Banyak selebritas terlibat dalam gugatan pencemaran nama baik akibat unggahan media sosial, seperti tuduhan perselingkuhan atau penipuan, yang menunjukkan sensitivitas hukum ini bagi publik figur.

4. Tantangan Hukum Konstitusi bagi Publik Figur

4.1. Ketegangan antara Kebebasan Berekspresi dan Perlindungan HAM

Publik figur sering menghadapi dilema antara menyampaikan pendapat secara bebas dan menghindari pelanggaran HAM orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kebebasan berekspresi harus seimbang dengan tanggung jawab untuk tidak merugikan orang lain. Namun, interpretasi “kerugian” sering subjektif, terutama dalam kasus pencemaran nama baik, yang dapat memicu penyalahgunaan UU ITE untuk membungkam kritik.

4.2. Penyalahgunaan UU ITE

UU ITE sering dikritik karena pasal-pasalnya, seperti Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, bersifat karet (rubber clause) dan dapat disalahgunakan untuk menjerat publik figur yang menyampaikan kritik. Misalnya, politisi yang mengkritik kebijakan pemerintah di media sosial dapat dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik, meskipun kritik tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 menegaskan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak konstitusional, tetapi harus diimbangi dengan tanggung jawab hukum.

4.3. Anonimitas dan Cyberbullying

Publik figur sering menjadi target cyberbullying atau ujaran kebencian dari akun anonim di media sosial. Meskipun UU ITE memberikan perlindungan terhadap pelaku, anonimitas menyulitkan penegakan hukum. Sebaliknya, publik figur juga dapat terlibat dalam cyberbullying jika tidak mengelola emosi dengan baik, yang dapat berujung pada sanksi hukum.

4.4. Penegakan Hukum yang Tidak Konsisten

Penegakan hukum terhadap pelanggaran di media sosial sering tidak konsisten. Publik figur dengan pengaruh besar kadang-kadang mendapat perlakuan khusus, sementara individu biasa lebih mudah dijatuhi sanksi. Hal ini menimbulkan persepsi ketidakadilan dalam penerapan UU ITE.

4.5. Hoaks dan Manipulasi Opini Publik

Publik figur memiliki risiko besar dalam menyebarkan hoaks, baik sengaja maupun tidak, karena pengaruh mereka dapat mempercepat penyebaran informasi yang salah. Sebaliknya, mereka juga rentan menjadi korban hoaks, seperti tuduhan palsu yang menyebar viral. Hukum konstitusi menuntut mereka untuk bertanggung jawab atas konten yang dibagikan, tetapi kurangnya literasi digital di masyarakat memperumit upaya memerangi hoaks.


5. Strategi Publik Figur dalam Bermedia Sosial Secara Hukum dan Etis

Untuk mematuhi hukum konstitusi dan UU ITE, publik figur dapat menerapkan strategi berikut:

  • Verifikasi Informasi: Sebelum membagikan konten, pastikan informasi akurat dan berasal dari sumber terpercaya untuk menghindari penyebaran hoaks.
  • Pemilihan Bahasa yang Sopan: Gunakan bahasa yang tidak memicu konflik atau menyinggung, terutama dalam isu sensitif seperti SARA. Dr. Rocky Marbun dari Universitas Pancasila menyarankan penggunaan ilustrasi atau konteks yang disamarkan untuk menghindari pelanggaran hukum.
  • Menghormati Privasi: Jangan membagikan data pribadi orang lain tanpa izin, dan lindungi data pribadi diri sendiri dari penyalahgunaan.
  • Pengelolaan Emosi: Hindari unggahan impulsif yang dipicu emosi, karena ini sering menjadi penyebab kasus hukum seperti pencemaran nama baik.
  • Konsultasi Hukum: Bekerja sama dengan konsultan hukum untuk mengevaluasi konten sensitif sebelum dipublikasikan, terutama bagi publik figur dengan pengaruh besar.
  • Sosialisasi Etika Digital: Publik figur dapat mempromosikan literasi digital dan etika bermedia sosial kepada pengikut untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman dan bertanggung jawab.

6. Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Mendukung Hukum Konstitusi Media Sosial

6.1. Peran Pemerintah

  • Reformasi UU ITE: Pemerintah perlu merevisi pasal-pasal karet dalam UU ITE untuk mencegah penyalahgunaan, sambil memperkuat perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.
  • Sosialisasi Hukum: Pemerintah harus meningkatkan sosialisasi UU ITE dan etika bermedia sosial, terutama kepada publik figur dan masyarakat umum.
  • Perlindungan Data Pribadi: Percepat pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi untuk memberikan perlindungan lebih kuat terhadap hak asasi digital.
  • Penegakan Hukum yang Adil: Pastikan penegakan hukum yang konsisten dan tidak memihak, terutama dalam kasus yang melibatkan publik figur.

6.2. Peran Masyarakat

  • Literasi Digital: Masyarakat perlu meningkatkan literasi digital untuk mengenali hoaks, ujaran kebencian, dan pelanggaran hukum di media sosial.
  • Kontrol Sosial: Masyarakat dapat berperan sebagai pengawas dengan melaporkan konten yang melanggar hukum, seperti ujaran SARA atau pencemaran nama baik, kepada otoritas yang berwenang.
  • Dukungan terhadap Publik Figur: Pengikut dapat mendukung publik figur dengan tidak menyebarkan hoaks atau komentar negatif yang tidak berdasar, menciptakan lingkungan digital yang lebih positif.

7. Sumber dan Bacaan Lebih Lanjut

  • Peraturan Perundang-undangan:
  • Putusan Mahkamah Konstitusi:
    • Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 tentang kebebasan berekspresi.
  • Literatur Akademik:
    • Febriansyah, F. I., & Purwinarto, H. S. (2020). “Pertanggungjawaban Pidana bagi Pelaku Ujaran Kebencian di Media Sosial.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 20(2), 177-188.
    • El-Muhtaj, Majda. (2017). Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. Prenada Media.
  • Sumber Online:
    • Hukumonline.com: Artikel tentang pencemaran nama baik dan UU ITE.
    • Komnas HAM: Kebebasan berekspresi dan HAM.
    • Sekretariat Kabinet: Perlindungan hak asasi digital.
  • Jurnal dan Media:
    • Kompasiana: Peran media sosial dalam membentuk opini publik.
    • Mulawarman Law Review: Kebebasan berekspresi dan penghinaan institusi negara.

Kesimpulan

Hukum konstitusi media sosial di Indonesia, yang berpijak pada UUD 1945 dan UU ITE, memberikan kerangka bagi publik figur untuk menggunakan media sosial secara bebas namun bertanggung jawab. Pasal 28E dan 28F UUD 1945 menjamin kebebasan berekspresi dan hak atas informasi, tetapi Pasal 28J ayat (2) menegaskan bahwa kebebasan ini harus seimbang dengan penghormatan terhadap HAM orang lain. Publik figur, dengan pengaruh besar mereka, memiliki tanggung jawab tambahan untuk menghindari pelanggaran seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan penyebaran hoaks, yang diatur ketat oleh UU ITE. Tantangan seperti penyalahgunaan UU ITE, anonimitas, dan penegakan hukum yang tidak konsisten memperumit penerapan hukum di ruang digital.

Untuk menavigasi ruang digital secara hukum dan etis, publik figur perlu memverifikasi informasi, menggunakan bahasa yang sopan, dan menghormati privasi. Pemerintah dan masyarakat juga memiliki peran penting dalam mereformasi regulasi, meningkatkan literasi digital, dan mendukung lingkungan media sosial yang aman. Seperti yang ditegaskan oleh Komnas HAM, “Kebebasan berekspresi adalah hak, tetapi harus diimbangi dengan penghormatan terhadap hak orang lain.” Dengan mematuhi hukum konstitusi dan etika digital, publik figur dapat memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk membangun komunikasi yang positif dan konstruktif, sekaligus menghindari jerat hukum yang dapat merusak reputasi dan karier mereka.


BACA JUGA: Detail Planet Mars: Karakteristik, Struktur, dan Misteri Terkecil di Tata Surya

BACA JUGA: Cerita Rakyat Tiongkok: Warisan Budaya, Makna, dan Pengaruhnya

BACA JUGA: Perbedaan Perkembangan Media Sosial Tahun 2020-2025: Analisis Lengkap Secara Mendalam



Related Post

Media Sosial sebagai Ajang Popularitas di Dunia Maya: Strategi E-Marketing untuk Barang dan Jasa

bonnievillebc.com, 14 MEI 2025Penulis: Riyan WicaksonoEditor: Muhammad KadafiTim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 Media sosial…

Perbedaan Perkembangan Sosial Media Tahun 2010-2015: Analisis Lengkap Secara Mendalam

bonnievillebc.com, 3 MEI 2025Penulis: Riyan WicaksonoEditor: Muhammad KadafiTim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88 Pendahuluan Periode…

Wajib Tahu! Privasi Jadi Taruhan Besar – 6 Fakta Medsos

Wajib Tahu! Privasi Jadi Taruhan Besar di era digital yang kita jalani sekarang! Guys, tau…