bonnievillebc.com, 07 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan modern, mengubah cara manusia berkomunikasi, berbagi informasi, dan membentuk identitas. Dengan lebih dari 4,9 miliar pengguna media sosial di seluruh dunia pada 2023, menurut Statista, platform seperti Instagram, TikTok, Twitter (kini X), dan Facebook memainkan peran besar dalam membentuk pola pikir, emosi, dan perilaku individu. Di Indonesia, penetrasi media sosial mencapai 60,4% dari populasi pada 2022, dengan rata-rata pengguna menghabiskan 3 jam 18 menit per hari di platform sosial, berdasarkan laporan We Are Social. Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga membawa dampak psikologis yang signifikan, baik positif maupun negatif. Artikel ini akan menguraikan secara mendalam dampak psikologis media sosial, mencakup manfaatnya, risiko terhadap kesehatan mental, faktor penentu, dan strategi mitigasi, berdasarkan sumber terpercaya seperti jurnal psikologi, penelitian akademik, dan laporan kesehatan global.
Latar Belakang Media Sosial

Media sosial merujuk pada platform digital yang memungkinkan pengguna untuk membuat, berbagi, dan berinteraksi dengan konten, seperti teks, gambar, atau video. Sejak kemunculan platform seperti Friendster dan MySpace pada awal 2000-an, media sosial telah berkembang pesat dengan kehadiran Facebook (2004), Twitter (2006), Instagram (2010), dan TikTok (2016). Platform ini menawarkan konektivitas global, akses informasi instan, dan ruang untuk ekspresi diri, tetapi juga menghadirkan tantangan psikologis akibat paparan konten yang intens, interaksi daring, dan tekanan sosial.
Dampak psikologis media sosial dipengaruhi oleh faktor seperti usia, jenis kelamin, frekuensi penggunaan, dan konteks budaya. Penelitian dari American Psychological Association (APA) dan Journal of Social and Clinical Psychology menunjukkan bahwa media sosial dapat memengaruhi kesehatan mental melalui mekanisme seperti perbandingan sosial, validasi eksternal, dan gangguan pola tidur. Di Indonesia, di mana budaya kolektivis menekankan hubungan sosial, dampak media sosial sering kali diperkuat oleh tekanan untuk memenuhi ekspektasi komunitas daring.
Dampak Psikologis Positif Media Sosial

Media sosial memiliki sejumlah manfaat psikologis yang signifikan, terutama dalam konteks konektivitas, pembelajaran, dan dukungan emosional.
1. Meningkatkan Konektivitas Sosial
Media sosial memungkinkan individu untuk tetap terhubung dengan keluarga, teman, atau komunitas, bahkan di tengah jarak geografis. Penelitian oleh Pew Research Center (2021) menemukan bahwa 70% pengguna media sosial di AS merasa lebih terhubung dengan orang-orang penting dalam hidup mereka. Di Indonesia, platform seperti WhatsApp dan Instagram digunakan untuk mempertahankan ikatan keluarga dan komunitas, misalnya melalui grup keluarga atau forum lokal.
- Contoh: Selama pandemi COVID-19, media sosial seperti Zoom dan Instagram Live menjadi sarana untuk menjaga hubungan sosial, mengurangi rasa isolasi, terutama bagi lansia dan individu yang tinggal sendiri.
- Manfaat Psikologis: Konektivitas ini dapat meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging), mengurangi kesepian, dan memperkuat dukungan sosial, yang terbukti meningkatkan kesejahteraan emosional menurut teori social support oleh Cohen dan Wills (1985).
2. Mendukung Ekspresi Diri dan Identitas
Media sosial memberikan ruang bagi individu untuk mengekspresikan diri melalui konten kreatif, seperti foto, cerita, atau opini. Ini terutama penting bagi kelompok marginal, seperti komunitas LGBTQ+ atau penyandang disabilitas, yang dapat menemukan komunitas daring yang mendukung.
- Contoh: Di Indonesia, akun Instagram seperti @mentalhealthid memungkinkan pengguna berbagi pengalaman tentang kesehatan mental, menciptakan ruang aman untuk diskusi yang sering dianggap tabu.
- Manfaat Psikologis: Ekspresi diri meningkatkan harga diri (self-esteem) dan otonomi psikologis, sesuai dengan self-determination theory oleh Ryan dan Deci (2000).
3. Akses ke Informasi dan Edukasi
Media sosial memfasilitasi pembelajaran melalui konten edukasi, seperti tutorial, webinar, atau artikel ilmiah yang dibagikan di platform seperti YouTube atau LinkedIn. Penelitian oleh Journal of Medical Internet Research (2020) menunjukkan bahwa media sosial dapat meningkatkan literasi kesehatan, terutama selama krisis seperti pandemi.
- Contoh: Di Indonesia, akun seperti @ruangguru atau @sahabatkelautan menyediakan konten pendidikan gratis, membantu siswa dan masyarakat belajar tentang topik mulai dari matematika hingga konservasi laut.
- Manfaat Psikologis: Akses informasi meningkatkan rasa percaya diri dan kompetensi, yang berkontribusi pada kesejahteraan psikologis.
4. Dukungan Komunitas dan Advokasi
Media sosial memungkinkan pembentukan komunitas daring untuk isu-isu sosial, seperti kesehatan mental, kesetaraan gender, atau lingkungan. Gerakan seperti #MentalHealthMatters atau #SaveLautIndonesia di Twitter telah meningkatkan kesadaran dan dukungan untuk isu-isu ini.
- Manfaat Psikologis: Menurut Journal of Community Psychology (2022), keterlibatan dalam komunitas daring dapat meningkatkan rasa tujuan (sense of purpose) dan ketahanan emosional.
Dampak Psikologis Negatif Media Sosial

Meskipun memiliki manfaat, media sosial juga membawa risiko serius terhadap kesehatan mental, terutama jika digunakan secara berlebihan atau tanpa pengelolaan yang sehat.
1. Perbandingan Sosial dan Penurunan Harga Diri
Media sosial sering memicu perbandingan sosial, di mana pengguna membandingkan diri mereka dengan gambaran ideal yang ditampilkan di platform, seperti tubuh sempurna, karier sukses, atau gaya hidup mewah. Penelitian oleh Journal of Social and Clinical Psychology (2018) menemukan bahwa perbandingan sosial di Instagram berkorelasi dengan penurunan harga diri dan peningkatan kecemasan.
- Contoh di Indonesia: Tren “Instagramable” di kalangan anak muda, seperti memamerkan liburan atau gaya hidup, sering memicu perasaan tidak mampu (inferiority complex), terutama di kalangan remaja dengan akses ekonomi terbatas.
- Dampak Psikologis: Perbandingan sosial dapat menyebabkan kecemasan, depresi ringan, dan gangguan citra tubuh (body dysmorphia), terutama pada remaja perempuan, seperti ditunjukkan dalam studi The Lancet Child & Adolescent Health (2021).
2. Kecanduan Media Sosial
Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan kecanduan, ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengurangi waktu daring dan gangguan terhadap aktivitas sehari-hari. Penelitian oleh Computers in Human Behavior (2020) menunjukkan bahwa kecanduan media sosial terkait dengan dopamin yang dilepaskan saat menerima likes atau komentar, mirip dengan efek candu pada otak.
- Contoh di Indonesia: Data We Are Social (2022) menunjukkan bahwa 15% pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan lebih dari 5 jam sehari di platform, sering kali mengorbankan waktu tidur atau produktivitas.
- Dampak Psikologis: Kecanduan dapat menyebabkan gangguan konsentrasi, penurunan prestasi akademik, dan gangguan tidur (insomnia), yang memperburuk kesehatan mental.
3. Kecemasan dan Depresi
Paparan konten negatif, seperti berita buruk, cyberbullying, atau hate speech, dapat meningkatkan kecemasan dan depresi. Studi oleh Royal Society for Public Health (2017) menemukan bahwa Instagram adalah platform yang paling berdampak negatif pada kesehatan mental remaja karena tekanan untuk tampil sempurna.
- Contoh di Indonesia: Kasus cyberbullying di Twitter terhadap tokoh publik atau individu biasa sering kali memicu stres emosional, terutama di kalangan remaja yang rentan terhadap komentar negatif.
- Dampak Psikologis: Kecemasan sosial, depresi, dan bahkan risiko bunuh diri dapat meningkat, terutama pada individu dengan riwayat masalah kesehatan mental.
4. Gangguan Pola Tidur
Penggunaan media sosial sebelum tidur, terutama akibat paparan cahaya biru dari layar ponsel, dapat mengganggu produksi melatonin, hormon yang mengatur tidur. Penelitian oleh Sleep Medicine Reviews (2019) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial lebih dari 2 jam sebelum tidur meningkatkan risiko insomnia.
- Contoh di Indonesia: Banyak anak muda di kota besar seperti Jakarta menggunakan ponsel hingga larut malam untuk menonton TikTok atau scrolling Instagram, yang berdampak pada kualitas tidur.
- Dampak Psikologis: Kurang tidur dapat menyebabkan iritabilitas, penurunan konsentrasi, dan peningkatan risiko kecemasan.
5. FOMO (Fear of Missing Out)
FOMO adalah ketakutan akan ketinggalan pengalaman atau tren yang dialami orang lain, yang sering dipicu oleh konten media sosial. Penelitian oleh Journal of Social and Personal Relationships (2016) menemukan bahwa FOMO berkorelasi dengan stres dan ketidakpuasan hidup.
- Contoh di Indonesia: Tren seperti menghadiri konser K-pop atau mengunjungi destinasi wisata populer di Bali sering memicu FOMO di kalangan anak muda, terutama jika mereka tidak mampu mengikuti tren tersebut.
- Dampak Psikologis: FOMO dapat meningkatkan kecemasan sosial dan perasaan tidak memadai, terutama pada remaja.
Faktor Penentu Dampak Psikologis
Dampak psikologis media sosial bervariasi tergantung pada beberapa faktor:
- Usia: Remaja (usia 13–18 tahun) lebih rentan terhadap dampak negatif seperti perbandingan sosial dan cyberbullying karena perkembangan identitas mereka yang masih labil, menurut Pediatrics (2020).
- Frekuensi Penggunaan: Penggunaan lebih dari 3 jam per hari meningkatkan risiko kecanduan dan gangguan kesehatan mental, berdasarkan studi The Lancet Psychiatry (2019).
- Jenis Konten: Konten positif, seperti edukasi atau motivasi, cenderung meningkatkan kesejahteraan, sementara konten negatif, seperti berita buruk atau komentar toksik, memperburuk kesehatan mental.
- Konteks Budaya: Di Indonesia, budaya kolektivis dapat memperkuat tekanan sosial dari media sosial, seperti ekspektasi untuk tampil sukses atau harmonis di depan komunitas.
- Kondisi Psikologis Awal: Individu dengan riwayat kecemasan atau depresi lebih rentan terhadap dampak negatif media sosial, menurut Clinical Psychological Science (2021).
Strategi Mitigasi Dampak Negatif

Untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan risiko media sosial, berikut adalah beberapa strategi yang didukung oleh penelitian:
- Batasan Waktu Penggunaan:
- Batasi penggunaan media sosial hingga 1–2 jam per hari, sesuai rekomendasi American Academy of Pediatrics (2020).
- Gunakan fitur seperti “Screen Time” di iOS atau “Digital Wellbeing” di Android untuk memantau dan mengatur waktu daring.
- Kurasi Konten Positif:
- Ikuti akun yang mempromosikan konten edukasi, inspirasi, atau kesehatan mental, seperti @psikologid atau @mindfulnesia di Instagram.
- Hindari akun yang memicu perbandingan sosial atau emosi negatif.
- Pendidikan Literasi Digital:
- Sekolah dan komunitas dapat mengadakan pelatihan literasi digital untuk mengajarkan remaja cara mengelola media sosial secara sehat, seperti yang dilakukan oleh program “Internet Sehat” dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia.
- Praktik Mindfulness:
- Penelitian oleh Journal of Positive Psychology (2022) menunjukkan bahwa meditasi atau latihan mindfulness dapat mengurangi kecemasan akibat FOMO dan perbandingan sosial.
- Contoh: Aplikasi seperti Headspace atau meditasi singkat sebelum tidur dapat membantu.
- Dukungan Sosial Offline:
- Membangun hubungan sosial di dunia nyata, seperti melalui kegiatan komunitas atau keluarga, dapat mengurangi ketergantungan pada validasi daring.
- Konsultasi Profesional:
- Jika media sosial memicu kecemasan atau depresi berat, konsultasi dengan psikolog atau konselor dapat membantu. Di Indonesia, layanan seperti Riliv atau Halodoc menyediakan konsultasi kesehatan mental daring.
Konteks di Indonesia
Di Indonesia, media sosial memiliki dampak psikologis yang unik karena konteks budaya dan sosialnya:
- Budaya Kolektivis: Tekanan untuk menjaga harmoni sosial sering mendorong pengguna untuk memamerkan kehidupan yang “sempurna” di media sosial, yang dapat memicu perbandingan sosial dan FOMO.
- Aksesibilitas Teknologi: Dengan penetrasi internet mencapai 77,2% pada 2022 (We Are Social), media sosial mudah diakses, tetapi literasi digital masih rendah, meningkatkan risiko cyberbullying dan penyebaran hoaks.
- Pengaruh Influencer: Influencer di Instagram dan TikTok sering menetapkan standar gaya hidup yang tidak realistis, memengaruhi kesehatan mental remaja, terutama di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Inisiatif pemerintah, seperti program “Gerakan Nasional Literasi Digital” oleh Kominfo, berupaya meningkatkan kesadaran tentang penggunaan media sosial yang sehat. Selain itu, komunitas lokal seperti @satupersen di Instagram aktif mempromosikan kesehatan mental dan literasi emosional.
Kesimpulan
Media sosial adalah pedang bermata dua dalam konteks kesehatan psikologis. Di satu sisi, platform ini menawarkan konektivitas, ekspresi diri, dan akses informasi yang dapat meningkatkan kesejahteraan, rasa memiliki, dan literasi. Di sisi lain, penggunaan yang berlebihan atau tidak sehat dapat memicu perbandingan sosial, kecanduan, kecemasan, depresi, dan gangguan tidur. Dampak ini dipengaruhi oleh faktor seperti usia, frekuensi penggunaan, dan konteks budaya, dengan Indonesia menghadapi tantangan unik akibat budaya kolektivis dan rendahnya literasi digital. Dengan strategi seperti pembatasan waktu, kurasi konten positif, dan pendidikan literasi digital, individu dapat memanfaatkan manfaat media sosial sambil meminimalkan risikonya. Dalam era digital yang terus berkembang, pemahaman tentang dampak psikologis media sosial sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan resilien secara mental.
Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi situs resmi American Psychological Association (apa.org) atau laporan We Are Social tentang penggunaan media sosial di Indonesia.
BACA JUGA: Perkembangan Teknologi Militer Turki: Dari Modernisasi hingga Kemandirian Strategis
BACA JUGA: Perjalanan Karier Hingga Debut Besar BTS (Bangtan Sonyeondan): Dari Agensi Kecil Menuju Ikon Global
BACA JUGA: Perjalanan Karier Hingga Debut Besar Johnny Depp: Dari Musisi Amatir Menuju Ikon Hollywood